Bahasa dalam Perspektif Ferdinand de Saussure
PengantarPaper ini merupakan hasil analisa dan resume ide-ide Ferdinand Saussure tentang bahasa berdasarkan bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Pengantar Linguistik Umum (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1988 [1993]). Judul aslinya: Cours de Linguistique Générale, pertama kali terbit pada tahun 1973. Setelah membaca buku tersebut, saya berkesimpulan bahwa bahasa - bagi Saussure - erat-terkait dengan makna. Makna adalah soal relasi differensial. Artinya, makna (dalam tata bahasa) terkait pada kata sebelum dan sesudahnya. Singkatnya, makna adalah urusan internal kalimat (intra-linguistik). Makna tidak ada di luar kalimat. Konsekuensi berpikir seperti ini adalah, makna extra-linguistik cenderung diabaikan.
Mengenal Saussure berarti kita mesti mengenal beberapa gagasan yang penting dari beliau. Pertama, langage, langue dan parole. Kedua, sintagmatis dan asosiatif. Ketiga, valensi. Keempat, sinkronik dan diakronik. Kelima, tanda, penanda dan petanda. Keenam, arbitrer (kesemenaan) dan mutlak. Ketujuh, sistem aksara. Gagasan-gagasan beliau inilah yang saya uraikan dan jelaskan dalam paper ini. Selamat membaca!
Mengenal Saussure berarti kita mesti mengenal beberapa gagasan yang penting dari beliau. Pertama, langage, langue dan parole. Kedua, sintagmatis dan asosiatif. Ketiga, valensi. Keempat, sinkronik dan diakronik. Kelima, tanda, penanda dan petanda. Keenam, arbitrer (kesemenaan) dan mutlak. Ketujuh, sistem aksara. Gagasan-gagasan beliau inilah yang saya uraikan dan jelaskan dalam paper ini. Selamat membaca!
BAB I
RIWAYAT HIDUP DAN KARYA FERDINAND DE SAUSSURE [1]
Ferdinand de Saussure lahir di Genewa pada tanggal 26 November 1857 dari keluarga Protestan Perancis (Huguenot) yang ber-emigrasi dari daerah Lorraine ketika perang agama pada akhir abad ke-16. Sejak kecil, Saussure memang sudah tertarik dalam bidang bahasa. Pada tahun 1870, ia masuk Institut Martine, di Paris. Dua tahun kemudian (1872), ia menulis “Essai sur les langues” yang ia persembahkan untuk ahli linguistik pujaan hatinya (yang menolong dia untuk masuk ke Institut Martine, Paris), yakni Pictet. Pada tahun 1874 ia belajar fisika dan kimia di universitas Genewa (sesuai tradisi keluarganya), namun 18 bulan kemudian, ia mulai belajar bahasa sansekerta di Berlin. Rupanya, Saussure semakin tertarik pada studi bahasa, maka pada 1876-1878 ia belajar bahasa di Leipzig; dan pada tahun 1878-1879 di Berlin. Di perguruan tinggi ini, ia belajar dari tokoh besar linguistik, yakni Brugmann dan Hübschmann.
Ketika masih mahasiswa, Saussure telah membaca karya ahli linguistik Amerika, William Dwight Whitney yang membahas tentang The Life and Growth of Language and Outline of Linguistic Science (1875); buku ini sangat mempengaruhi teori linguistiknya di kemudian hari. Pada tahun 1878, Saussure menulis buku tentang Mémoire sur le systéme primitif des voyelles dans les langues indo-européennes (Catatan Tentang Sistem Vokal Purba Dalam Bahasa-bahasa Indo-Eropa). Pada tahun 1880 ia mendapat gelar doktor (dengan prestasi gemilang: summa cum laude) dari universitas Leipzig dengan disertasi: De l’emploi du génetif absolu en sanscrit (Kasus Genetivus Dalam Bahasa Sansekerta) dan pada tahun yang sama, ia berangkat ke Paris. Tahun 1881 menjadi dosen di salah satu universitas di Paris. Setelah lebih dari sepuluh tahun mengajar di Paris, ia dianugrahkan gelar profesor dalam bidang bahasa Sansekerta dan Indo-Eropa dari Universitas Genewa. Berkat ketekunanya mendalami struktur dan filsafat bahasa, Saussure didaulat sebagai bapak strukturalis. Menurut beliau, prinsip dasar strukturalisme adalah bahwa alam semesta terjadi dari relasi (forma) dan bukan benda (substansial).[2]
BAB II
PANDANGAN SAUSSURE MENGENAI LANGAGE, LANGUE DAN PAROLE
2.1 Langage
Langage adalah gabungan antara parole dan langue (gabungan antara peristiwa dengan kaidah bahasa atau tata bahasa, atau struktur bahasa). Menurut Saussure, langage tidak memenuhi syarat sebagai fakta sosial karena di dalam langage ada faktor-faktor bahasa individu yang berasal dari pribadi penutur. Bahkan langage tidak memiliki prinsip keutuhan yang memungkinkan kita untuk menelitinya secara ilmiah.[3] Langage mencakup apapun yang diungkapkan serta kendala yang mencegahnya dalam mengungkapkan hal-hal yang tak gramatikal. Contohnya, kata materiil. Kata ini memang secara sosial banyak digunakan bahkan seolah-olah dianggap sebagai bahasa konvesional. Padahal, kata “materiil” tidaklah baku, tidak sesuai dengan ejaan yang telah disempurnakan (EYD). Langage memiliki segi individual (parole) dan segi sosial (langue) tetapi kita tidak dapat menelaah yang satu tanpa yang lain. Dengan demikian, langage memiliki multi bentuk dan heteroklit dan psikis. Singkatnya, langage adalah bahasa yang dipergunakan secara biasa dan dianggap baku walaupun sebenarnya tidak baku.
Langage adalah gabungan antara parole dan langue (gabungan antara peristiwa dengan kaidah bahasa atau tata bahasa, atau struktur bahasa). Menurut Saussure, langage tidak memenuhi syarat sebagai fakta sosial karena di dalam langage ada faktor-faktor bahasa individu yang berasal dari pribadi penutur. Bahkan langage tidak memiliki prinsip keutuhan yang memungkinkan kita untuk menelitinya secara ilmiah.[3] Langage mencakup apapun yang diungkapkan serta kendala yang mencegahnya dalam mengungkapkan hal-hal yang tak gramatikal. Contohnya, kata materiil. Kata ini memang secara sosial banyak digunakan bahkan seolah-olah dianggap sebagai bahasa konvesional. Padahal, kata “materiil” tidaklah baku, tidak sesuai dengan ejaan yang telah disempurnakan (EYD). Langage memiliki segi individual (parole) dan segi sosial (langue) tetapi kita tidak dapat menelaah yang satu tanpa yang lain. Dengan demikian, langage memiliki multi bentuk dan heteroklit dan psikis. Singkatnya, langage adalah bahasa yang dipergunakan secara biasa dan dianggap baku walaupun sebenarnya tidak baku.
2.2 Langue
Langue adalah bahasa konvensional, bahasa yang sesuai ejaan yang telah disempurnakan, bahasa yang mengikuti tata aturan baku bahasa. Lebih jauh Saussure mengatakan bahwa langue merupakan keseluruhan kebiasaan (kata) yang diperoleh secara pasif yang diajarkan dalam masyarakat bahasa, yang memungkinkan para penutur saling memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur dan masyarakat. Langue bersenyawa dengan kehidupan masyarakat secara alami. Jadi, masyarakat merupakan pihak pelestari langue. [4] Dalam langue terdapat batas-batas negatif (misalnya, tunduk pada kaidah-kaidah bahasa, solidaritas, asosiatif dan sintagmatif) terhadap apa yang harus dikatakannya bila seseorang mempergunakan suatu bahasa secara gramatikal. Langue merupakan sejenis kode, suatu aljabar atau sistem nilai yang murni. Langue adalah perangkat konvensi yang kita terima, siap pakai, dari penutur-penurut terdahulu. Langue telah dan dapat diteliti; langue juga bersifat konkret karena merupakan perangkat tanda bahasa yang disepakati secara kolektif. Nah, tanda bahasa tersebut dapat menjadi lambang tulisan yang konvensional.[5]
Tujuan linguistik adalah mencari sistem (langue) struktur dari kenyataan yang konkret (parole). Ajaran ini menjadi dasar pendekatan strukturalis. Kata struktur pertama kali diucapkan oleh Jean Piaget: struktur adalah suatu tatanan wujud-wujud yang mencakup keutuhan, transformasi (dinamis) dan pengaturan diri.[6] Dikatakan “keutuhan” karena tatanan wujud itu bukan kumpulan semata melainkan karena tiap-tiap komponen struktur itu tunduk pada kaidah-kaidah intrinsik dan tidak mempunyai keberadaan bebas di luar struktur. Langue tidak bisa dipisahkan antara bunyi dan gerak mulut. Langue juga dapat berupa lambang-lambang bahasa konkret; tulisan-tulisan yang terindra dan teraba (terutama bagi tuna runggu). Langue adalah suatu sistem tanda yang mengungkapkan gagasan. Contoh: pergi! Dalam kata ini, gagasan kita adalah ingin mengusir, menyuruh, Nah, kata pergi!, dapat juga kita ungkapkan kepada tuna runggu dengan abjad tuna runggu, atau dengan simbol atau dengan tanda-tanda militer.[7]
Langue seperti permainan catur, kalau saya kurangi buah catur, akan berubah dan bahkan permainan akan kacau; demikian halnya dalam langue, jika struktur (sistem) kita ubah, maka akan kacau balau juga. Misalnya: saya makan nasi, jika kalimat ini saya ubah menjadi: makan nasi saya, kelihatannya kalimat tersebut, janggal. Atau dalam bahasa Latin: laudate (terpujilah), tentu jika kita merubahnya tidak sesuai dengan aturan main dalam bahasa Latin, akan kacau balau. Langue tidak tergantung pada aksara.[8] Misalnya, kata: tōten, fuolen dan stōzen; kata-kata ini di kemudian hari berubah menjadi tölen, füolen dan stōzen. Perubahan itu dari mana, kok bisa. Nah, langue tidak mau tahu dengan perubahan itu, yang penting apa yang telah dipakai secara konvensional, ya itulah langue.
Langue sangat perlu agar parole dapat saling dipahami; dan parole perlu agar langue terbentuk. Dengan kata lain, secara historis, fakta parole selalu mendahului langue. Bunyi kata: “pergi!” adalah parole tetapi ia juga termasuk langue karena sistem tanda ada di sana dan maknanya pun ada. Langue hadir secara utuh dalam bentuk sejumlah guratan yang tersimpan di dalam setiap otak; kira-kira seperti kamus yang eksemplarnya identik (fotocopy), yang akan terbagi di kalangan individu. Jadi, langue adalah sesuatu yang ada pada setiap individu tetapi orang banyak juga mengetahuinya.
Langue, bersifat kolektif: bersifat homogen, bahasan konvensional. Rumusnya: 1 + 1 + 1 + 1….= 1. Artinya, kata yang diucapkan oleh individu, diucapkan secara sama oleh orang banyak, begitu juga dengan maknanya, semua masyarakat bahasa tahu. Terbentuknya langue juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, misalnya: penjajahan (bahasa Penjajah mempengaruhi bahasa yang dijajah). Lebih jauh Saussure berpendapat bahwa langue diterima dengan pasif, tanpa memperkarakan dari mana langue tersebut berasal. Misalnya, kata “pinjam”: kita tidak perlu mengetahui dari mana kata ini berkembang dan kita tidak perlu tahu dari bangsa (suku) mana asalnya. Kata “pinjam” ini diketahui oleh semua masyarakat bahasa. Walaupun kita tidak tahu dari mana asalnya, toh tidak menghambat kita untuk mempelajarinya. Harus diingat bahwa langue berubah tetapi para penutur tidak mungkin mengubahnya; atau langue tertutup bagi interferensi tetapi terbuka bagi perkembangan.
Tanda-tanda yang membentuk langue bukan benda abstraksi melainkan benda konkret. Contoh: pohon (yang konkret, ada batangnya, bisa kita lihat) dan “pohon” yang lain adalah bahasa yang terbentuk yang kita ucapkan, kita artikulasikan. Wujud bahasa hanya ada karena ada kerjasama antara penanda dan petanda. Dalam langue, sebuah konsep adalah kualitas dari substansi bunyi seperti suara tertentu merupakan kualitas dari konsep. Maka, konsep rumah, putih, melihat, merupakan bagian dari psikologi. Konsep itu hanya menjadi wujud bahasa jika diasosiasikan dengan gambar akustik (bisa dalam bentuk tulisan juga dalam bentuk bunyi).[9] Di bawah ini, kita akan melihat mekanisme langue menurut Saussure.
Pertama, Solidaritas sintagmatis. Secara keseluruhan, perbedaan bunyi dan konsep yang membentuk langue merupakan hasil dari dua macam perbandingan: asosiatif dan sintagmatis. Pengelompokkan secara asosiatif dan sintagmatis pada umumnya disusun oleh langue. Himpunan-himpunan itulah yang membentuk dan mengarahkan berfungsinya langue. Dalam solidaritas sintagmatis hampir semua satuan bahasa (kata) tergantung dari apa yang melingkunginya dituturan atau dari bagian-bagian ber-urutan yang membentuknya. Contoh: satuan seperti désireux (yang menginginkan) terdiri dari satuan bawahan, yakni désir-eux, namun keduanya bukanlah dua bagian bebas yang ditambahkan satu pada yang lain (bukan desir + eux). Satuan itu merupakan suatu hasil, suatu kombinasi dari dua unsur yang solider, yang hanya bervalensi karena keberhubungannya di dalam suatu satuan yang lebih luas. Kata “-eux” itu adalah sufiks, dan jika sufiks terpisah dari kata dasarnya, tidak ada artinya. Misalnya: satuan, tidak mungkin ditulis: satu-an. Sama halnya kata dasar, tidak otonom juga. Ia hanya ada dalam kombinasi dengan sufiks (misalnya: roul-is ‘ayunan’; roul tidak bisa diartikan sebagai ayunan tanpa diikuti akhiran –is).
Kedua, dua bentuk pengelompokkan yang berfungsi secara simultan (bersama). Saussure berpendapat bahwa dalam langue, antara asosiatif dan sintagmatif juga terjadi simultan (hadir secara bersama-sama dalam langue). Misalnya, komposisi dé-faire ‘membongkar’, kata ini mengandung dimensi sintagma sekaligus asosiasitif, karena dapat menimbulkan asosiasi-asosiasi pada kata yang lain. Marilah kita lihat bagan berikut:
D é – f a i r e
Décoller
Déplacer
Découdre
dsb.
Faire
Relafaire
Contrefaire
dsb.
Selain contoh di atas, kita juga dapat melihat contoh dalam bentuk kalimat: que vous dit-il? ‘apa yang dikatakannya pada Anda?’ bisa diganti dengan kalimat: que te dit-il? ‘apa yang dikatakannya padamu?’ bahkan dapat diganti dengan kalimat: que nous dit-il? ‘apa yang dikatakannya pada kita?’ dsb. Jadi kata “Anda” (vous) dapat kita ganti dengan –mu, kita.
Ketiga, kesemenaan mutlak dan kesemenaan relatif. Yang mutlak semena artinya tanpa motif dari apa yang relatif semena. Walaupun demikian, hanya sebagian dari tanda yang sifatnya semena, sedangkan di bagian lain muncul gejala yang memungkinkan untuk mengenali tingkat kesemenaan tanpa harus menghapusnya: ‘tanda’ mungkin bersifat relatif semena. Misalnya: vingt ‘dua puluh’ tidak bermotif, namun dix-neuf ‘sembilan belas’ tidak sama tingkat kesemenaannya dengan vingt karena kata itu dibentuk dari unsur-unsur lain yang dapat digabung dengan unsur lain pula, misalnya: dix-neuf ‘sembilan belas’, vingt-neuf ‘dua puluh sembilan’, dix-huit ‘delapan belas’, soinxante-dix ‘tujuh puluh’, dsb. Jika dipisahkan dix ‘sepuluh’ dan neuf ‘sembilan’ berkedudukan sama dengan vingt ‘dua puluh’, namun kata dix-neuf merupakan kasus motif relatif.
2.3 ParoleParole adalah keseluruhan dari apa yang diajarkan orang temasuk konstruksi-konstruksi individu yang muncul dari pilihan penutur, dan pengucapan-pengucapan yang diperlukan untuk menghasilkan konstruksi-konstruksi ini berdasarkan pilihan bebas juga. Parole merupakan manifestasi individu dari bahasa. Bahasa parole misalnya, gue kan ga suka cara kayak gitu, loo emangnya siape?, dst. Jadi, parole adalah dialek atau logat. Parole bukan fakta sosial karena seluruhnya merupakan hasil individu (dan suku tertentu) yang sadar [10], termasuk kata apapun yang diucapkan oleh penutur; ia juga bersifat heterogen dan tak dapat diteliti. Dalam parole harus dibedakan unsur-unsur berikut:
Pertama, kombinasi-kombinasi kode bahasa (tanda baca) yang dipergunakan penutur untuk mengungkapkan gagasan pribadinya. Misalnya: perang, kataku, perang! Kalimat ini jika diucapkan oleh orang yang sama pun, kata Saussure, ia menyampaikan dua hal yang berbeda pada pelafalan (kata perang pertama dilafalkan secara berbeda dengan kata perang kedua).
Kedua, mekanisme psikis-fisik yang memungkinkan seseorang mengungkapkan kombinasi-kombinasi tersebut. Parole-lah yang membuat langue berubah: kesan-kesan yang kita tangkap pada saat kita mendengar orang lainlah yang mengubah kebiasaan bahasa kita. Jadi, antara langue dan parole saling terkait; langue sekaligus alat dan produk parole.[11] Bersifat individu: semua perwujudannya bersifat sesaat dan heterogen dan merupakan perilaku pribadi.
Parole dapat dirumuskan: (1’ + 1’’ + 1’’’ + 1’’’’…..). artinya, kata yang sama pun dilafalkan secara berbeda, baik orang yang sama maupun oleh orang banyak.
BAB III
VALENSI, PENGERTIAN, ISI, IDENTITAS DAN REALITAS LANGUE
Melalui hubungan asosiatif dan hubungan sintagmatis, tanda bahasa dapat diuraikan dan hasilnya ialah pemerian tentang valensi. Valensi dapat kita pahami dengan menerima kenyataan bahwa tanda bahasa itu penting bukan sebagai peristiwa bunyi melainkan sebagai pengganti atau wakil dari unsur-unsur luar bahasa. Tanda kita kenal dengan mendengar tetapi ucapan orang jarang kita perhatikan. Yang kita perhatikan adalah gagasan atau situasi yang menarik perhatian kita melalui ujaran si pembicara. Ciri utama bahasa tak dapat dicari pada bicara tetapi dalam hubungan dengan unsur-unsur luar bahasa melalui sejenis konvensi sosial. Sifat valensi (nilai) menyangkut substitusi (penggantian) suatu benda yang berlainan. Contohnya uang. [12] Uang dapat digantikan dengan barang yang nilainya sama. Misalnya, ada roti yang harganya Rp 200, lantas saya beli dengan mengeluarkan uang Rp 200. Nah, uang yang Rp 200 dengan roti tersebut sama nilainya, asal kita juga menganggapnya demikian.
Valensi linguistik harus didekati dari sudut konseptual dan material dalam arti pikiran tanpa ungkapan dalam kata-kata hanyalah benda yang tak jelas atau tidak punya bentuk. Contoh, dalam pikiran saya mau membeli roti, tetapi saya juga harus “mengartikulasikannya atau mengatakannya kepada penjual, kalau tidak, siapa yang tahu bahwa saya mau membeli roti?”. Contoh lain lagi: kuda dalam permainan catur hilang, tetapi bisa diganti dengan yang lain asal diberi nilai (valensi) yang sama dengan kuda.[13] Langue adalah suatu sistem valensi murni: harus ada gagasan dan bunyi. [14] Setiap unsur bahasa merupakan anggota kecil, sebuah articulus (artikulasi) di mana suatu gagasan terpateri dalam suatu bunyi atau suatu bunyi menjadi tanda suatu gagasan. Langue tidak terlepas dari pikiran dan bunyi. Ia seperti kertas, kita potong sebelah pasti ikut terpotong juga sebelahnya.
Valensi selalu terdiri dari: pertama, suatu hal yang berbeda yang selalu dapat dipertukarkan dengan hal yang valensinya harus ditetapkan. Kedua, oleh hal-hal yang serupa dapat dibandingkan dengan hal yang dicari valensinya. Demikian “kata” dapat dipertukarkan dengan suatu yang berbeda yaitu gagasan, juga dapat dibandingkan dengan kata lain.[15] Yang penting dalam valensi adalah bunyi, karena perbedaan bunyi itulah yang mengandung makna. Dalam valensi harus ada sifat korelatifnya yaitu sifat semena dan sifat diferensial. Misalnya, valensi huruf “t” dapat ditulis secara berbeda setiap kali kita menulisnya, tetapi nilainya tetap “t”; inilah valensi aksara.[16] Sistem bahasa adalah sederet perbedaan bunyi yang dikombinasi dengan sederet perbedaan gagasan. Dalam langage ada tuturan dan ada konsep (ada peristiwa dan ada tata bahasa bahasa). Misalnya, pembentukkan kata jamak Jerman jenis Nacht: Nächte. Setiap unsur yang hadir di dalam peristiwa tata bahasa (tunggal tanpa umlaut dan tanpa “e” final, diposisikan dengan jamak dengan umlaut dan e-) dibentuk oleh sederet oposisi di dalam lingkungan sistem. [17]
Pengertian (Perancis: signification) didefenisikan sebagai asosiasi suatu bunyi dengan suatu konsep. Jadi, pada dasarnya signification sama dengan makna referensial dalam semantik. Sedangkan “isi” (Perancis: contenu) dari sistem bahasa (langue) mencakup pengertian dan valensi.[18]
Apa yang dimaksud dengan identitas sinkronis? Yang dimaksud dengan identitas sinkronis terdapat dalam kalimat Perancis: “Je ne sais pas”, ‘saya tidak tahu’ dan “ne dites pas cela”, ‘jangan katakan hal itu. Kedua kalimat ini mengandung unsur yang sama (pas) dikenakan makna yang sama. Identitas bahasa adalah unik, karena – misalnya - setiap saya menyebut kata yang sama, saya memperbaharui materinya sehingga terjadi tindak pembunyian yang baru serta tindak psikologis yang baru. [19] sedangkan yang dimaksud dengan realitas sinkronis langue adalah seperti kata sifat (adjektif) dan kata kerja (substantif).
BAB IV
SINKRONIK DAN DIAKRONIKLinguistik sinkronis adalah semua yang berhubungan dengan segi statis dalam ilmu. Sedangkan linguistik diakronis adalah semua yang memiliki ciri evolusi. Ada berbagai contoh untuk melukiskan dualisme intern (sinkronis dan diakronis). Misalnya, kata Latin “cripus” (berombak, bergelombang, keriting), menimbulkan kata dasar Perancis crép-, yang membentuk kata kerja crépir ‘melepa’, dan décrépir, ‘mengupas lepa’. Pada suatu waktu, bahasa Perancis meminjam kata Latin décrepitus, ‘usang karena usia’, untuk membentuk décrépit; tetapi ternyata orang melupakan asal kata ini.
Contoh yang lain terdapat dalam bahasa Jerman. Dalam bahasa Jerman tinggi kuno, kata jamak gast, ‘tuan rumah’, semula adalah gasti, dan jamak hant ‘tangan’ semula adalah hanti, dll. Tetapi di kemudian hari, i- tersebut menjadi umlaut yang mengakibatkan a menjadi e dalam suku kata terdahulu: gasti menjadi gesti, hanti menjadi henti, tetapi kemudian (lagi) i- kehilangan bunyinya dan menghasilkan gesti menjadi geste, dst. Akibatnya, sekarang terdapat kata Gäst: Gaste, Händ: Hande, dan sejumlah besar kelompok kata yang menampilkan bentuk jamak dan tunggal.[20] Ini adalah dimensi diakronis langue. Diakronis tidak mengubah sistem karena kata yang berubah pun adalah sistem dalam bentuk yang lain dengan sistem sebelumnya. [21] Perubahan kata terjadi di luar kemampuan siapapun.
Sinkronis dapat kita pahami seperti ini: dalam bahasa Perancis, tekanan selalu terletak di suku kata terakhir, kecuali kalau suku kata terakhir mengandung e pepet (seperti “ə”). Ini adalah fakta sinkronis, yakni suatu hubungan antara himpunan kata bahasa Perancis dan tekanan. Tetapi fakta ini juga berasal dari keadaan masa lalu (diakronis). Langue adalah suatu mekanisme yang terus berfungsi meskipun mengalami perusakan. Langue adalah suatu sistem yang bagian-bagiannya dapat dan harus diamati di dalam kesaling-tergantungan sinkronis. Di dalam langue, setiap unsur memiliki nilainya dalam oposisi dengan unsur lain. Perubahan hände menjadi hanti bersifat spontan atau kebetulan atau tanpa motif, tanpa maksud.
Ada kasus khusus dalam linguistik sinkronis dan diakronis. Contohnya: poutre (kuda betina) di kemudian hari pengertiannya berubah menjadi “tiang penunjang” (jadi maknanya berubah). Kata tersebut tetap tetapi pengertian masyarakat akan kata itu yang berubah.[22] Jadi fakta historis atau diakronis mengikuti fakta sinkronis. Menurut Saussure, kata oposisi bukan kata biner, bukan juga dualisme. Oleh karena itulah, sinkronis menganggap gast beroposisi dengan gäste, gebe beroposisi dengan gib, dst. Sedangkan diakronis menganggap gast berubah menjadi gaste. Diakronis hanya hadir dalam parole. Karena segala perubahan pertama kali dilontarkan individu sebelum masuk dalam kelaziman. Misalnya, bahasa Jerman memiliki: ich war, wir waren, sedangkan bahasa Jerman kuno sampai abad XVI menasrifkannya: ich was, wir waren dan dalam bahasa Inggris: I was, we were. Nah, bagaimana terjadinya substitusi dari war ke was? Saussure mengatakan, pasti ada beberapa orang yang terpengaruh oleh waren kemudian menciptakan war dengan jalan analogi; ini adalah fakta dalam parole. Tetapi karena kata tersebut sering diulang dan diterima oleh masyarakat, maka kata tersebut menjadi fakta dalam langue.
Jika seseorang hanya melihat sisi diakronis bahasa, maka yang ia lihat bukan lagi langue yang ia lihat melainkan sederet “peristiwa” yang notabene merupakan parole. [23] Linguistik diakronis akan menelaah hubungan-hubungan di antara unsur-unsur yang berturutan dan tidak dilihat oleh kesadaran kolektif yang sama, dan yang satu menggantikan yang lain tanpa membentuk sistem di antara mereka. Sebaliknya, linguistik sinkronis akan mengurusi hubungan-hubungan logis dan psikologis yang menghubungkan unsur-unsur yang hadir bersama dan membentuk sistem, seperti dilihat dalam kesadaran kolektif yang sama. [24]
BAB V
TANDA, PENANDA DAN PETANDA
Strukturalisme Perancis tidak bisa dipisahkan dari semiologi Saussure. Bagi beliau, semiologi adalah ilmu pengetahuan umum tentang tanda. Dan, tanda tidak hanya sekedar kata, tetapi tanda mencakup kata dan konsep. Dengan kata lain, tanda adalah kombinasi antara konsep dan gambaran akustik. Misalnya, arbor (artinya pohon) adalah tanda bahasa. Sedangkan “pohon” adalah konsep.
Linguistik yang ilmiah adalah linguistik yang harus sesuai dengan ujaran-ujaran dan pola-pola yang dipaksakan (diterapkan secara konvensional) oleh masyarakat bahasa. Langue adalah objek linguistik yang konkret dan integral; ia merupakan khasanah tanda karena ia didasarkan pada konvensi sosial. Dengan cara pandang semacam ini, sebenarnya pandangan Saussure sejalan dengan Whitney: tanda bahasa adalah wujud psikis karena ia tidak mempertimbangkan wujud dari parole.
Dalam tanda bahasa harus dibedakan: Pertama, citra akustis (image acoustique) yang notabene bersangkutan dengan ingatan atau kesan bunyi yang dapat kita dengar dalam khayal, bukan dalam ujaran yang diucapkan. Salah satu manfaat konsep citra akustis adalah bahwa komponennya jelas batasnya. Citra akustis dapat digambarkan dengan tulisan secara cermat, sedangkan bunyi tidak (contohnya: bunyi gemuruh, bagaimana menuliskannya dengan kata-kata?). Citra bunyi adalah keseluruhan unsur fonem yang jumlahnya terbatas dan dapat diwujudkan dengan lambang tertulis yang jumlahnya sepadan. Kedua, bagian lain dari tanda bahasa adalah konsep. Konsep lebih abstrak daripada citra akustis. Konsep bersifat pembeda semata-mata, dan secara langsung bergantung pada citra bunyi. Itulah sebabnya Saussure mengatakan bahwa tanda mempunyai dua muka yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain: konsep itu signifie (yang ditandai atau petanda) dan citra akustis itu signifiant (yang menandai atau penanda).[25] Tanda adalah konkret dalam arti tidak ada satupun yang ditinggalkan dari defenisi yang diperlukan oleh sudut pandangnya karena sudut pandangnya itulah yang menciptakan objek: sudut pandang menentukan apa yang dianggap konkret (menyeluruh) sebagai lawan dari abstrak (sebagian).[26] Saussure berpendapat bahwa tanda adalah berupa kalimat, klausa, frasa, morfem (afiks, inflektif, derivatif). Ada dua jenis tanda: tanda tunggal dan tanda sintagma.
Semua tanda tersebut memiliki sifat utama, yakni:
Pertama, prinsip arbitrer (kesemenaan). Kesemenaan tanda bahasa dalam arti tidak ada motivasi aspek bunyi dalam benda yang ditandainya dan hanya terdapat dalam tanda tunggal. Sedangkan dalam sintagma, seperti kata majemuk, frasa terdapat motivasi relatif, misalnya bentuk inflektif (perubahan nada suara) diwujudkan secara sama untuk memenuhi hubungan makna yang sama atau konstruksi sintaksis yang dipergunakan dalam situasi yang sama diwujudkan secara sama pula. Kesemenaan merupakan bentuk umum dari kemampuan biologis manusia untuk mengkoordinasikan dan mengasosiasikan (pada waktu yang sama) sehingga melahirkan sistem bahasa yang berbeda bagi setiap masyarakat. Dengan kata lain, kesemenaan adalah tempat manusia membuat sejarah pada dirinya. Tetapi harus diperhatikan bahwa ciri lambang tidak selalu semena, tidak hampa. Sebab, ada suatu dasar dari ikatan alami antara penanda dan petanda. Misalnya, lambang keadilan adalah timbangan, tidak mungkin diganti dengan sembarang lambang, misalnya dengan lambang kereta. Walaupun demikian, semena bukan berarti penanda tergantung dari pilihan bebas penutur melainkan semena adalah tanpa motif. [27]
Untuk mengerti bagaimana suatu kata disebut semena, marilah kita ikuti uarian ini: tiba-tiba saya berteriak kepada ayah saya yang kebetulan lewat di depan saya “ayah, tunggu aku!”. Kata ayah di situ bersifat semena atau tanpa motif karena untuk menyebut kata “ayah” tentu saya tidak perlu berpikir terlebih dahulu dan tidak perlu saya mencari-cari kata apa yang harus saya serukan untuk memanggil laki-laki yang lewat di depan saya; dan tidak mungkin saya berkata: ya sudah, saya panggil saja ayah saya sebagai “ibu”, tidak mungkin.[28] Walaupun demikian, jika dalam bentuk kalimat, langue tidak seluruhnya semena karena langue adalah suatu sistem; dan sistem memiliki nalar tertentu. Misalnya: Saya makan nasi (S+P+K), tidak mungkin saya balik: makan nasi saya. Tetapi justru karena alasan inilah masyarakat tak mampu mengubah langue sesuka hatinya.
Kedua, prinsip kelinearan tanda bahasa. Hal ini paling nampak dalam signifiant, yaitu dalam rangkain wicara. Dan, hal ini yang membedakan bahasa dengan tanda lain (entah parole dan juga langage). Penanda akustis hanya ada dalam garis waktu; unsur-unsurnya terungkap satu persatu. Semua itu membentuk suatu rangkain.[29]
Ketiga, prinsip tak tertukarkan (ketakterubahan). Saussure memberi 4 alasan mengapa tanda tak tertukarkan: 1) karena tanda bersifat arbitrer; 2) walaupun ada kemungkinan orang ingin mengubah sistem tulisan yang sifatnya arbitrer karena unsur-unsurnya terbatas, namun karena tanda bahasa tak terbatas jumlahnya, maka ketakterbatasan tersebut menghalangi perubahan bahasa; 3) bahasa merupakan sistem yang sangat rumit; 4) bahasa adalah satu-satunya sistem sosial yang dipergunakan semua orang. Oleh sebab itu, di antara penutur terdapat sikap konservatif dalam menghadapi perubahan kebiasaan bahasa. Dengan kata lain, bahasa diwarisi. Dan penerima warisan itu menerima begitu saja (pasif) dan bahkan menjadi bahasa konvensional. Penanda seolah dipisah secara bebas tetapi jika dipandang dari masyarakat bahasa yang memakainya, penanda bahasa tak bebas, ia dipaksakan. Penanda yang dipilih oleh langue tidak mungkin diganti dengan yang lain. Contoh: pilihlah!, tidak mungkin saya ganti tanda bahasa di dalam kata itu menjadi “pilihlah?”. Jadi, masyarakat tidak dapat memaksakan kemauannya pada satu kata, masyarakat terikat pada langue seperti apa adanya. Singkatnya, langue tidak dapat diikat dengan suatu kontrak dan justru karena itulah tanda bahasa begitu menarik untuk diteliti. Sebab, kalau kita ingin memperlihatkan bahwa hukum yang diterima dalam suatu masyarakat sebagai sesuatu yang kita turuti dan bukan aturan yang ditetapkan secara bebas oleh individu, langue-lah yang paling cocok sebagai analoginya. Lambang bahasa atau langue tidak tunduk pada kemauan kita; ia adalah warisan dari abad sebelumnya. Misalnya, pemerian nama pada benda atau hal, merupakan warisan dari zaman dahulu. Jadi, langue juga merupakan hasil dari faktor historis, dan itu sebabnya langue tak terubahkan.
Keempat, prinsip tertukarkan (keterubahan): sifat ini terjadi jika kita menggunakan sudut pandang historis yang menimbulkan pergeseran hubungan antara signifiant dan signifié sebagai akibat perubahan bunyi dalam pergeseran analogi. [30] Tanda selalu berganti karena tanda bersifat sinambung. Pergantian tanda selalu mengakibatkan perubahan hubungan antara petanda dan penanda. Misalnya, kata “nēcare” (Latin) dikemudian hari berubah menjadi “necare”. Atau contoh lain adalah kata “dritteil” (kata Jerman klasik) berubah menjadi “drittel” (kata Jerman modern). Jadi, penanda berubah, baik secara material maupun secara gramatikal. Namun, sebuah langue sama sekali tidak berkekuatan untuk mempertahankan diri terhadap faktor-faktor yang setiap waktu mengubah hubungan antara penanda dan petanda; hal ini adalah salah satu konsekuensi dari kesemenaan lambang. [31] Prinsip dasar bahasa adalah tata nama. Artinya, sebuah kata mewakili “hal” atau “benda”. Prinsip ini mengandaikan adanya “benda” sebelum ada kata. Tetapi kata tak jelas apakah berwujud bunyi atau psikis.
BAB VI
HUBUNGAN ASOSIATIF DAN HUBUNGAN SINTAGMATIS
6.1 Hubungan Asosiatif
Setiap mata rantai dalam rangkaian wicara mengingatkan orang pada satuan bahasa lain. Dan, karena satuan itu berbeda dari yang lain dalam bentuk dan makna, inilah yang disebut hubungan asosiatif atau paradigmatis. Hubungan asosiatif juga disebut in absentia, karena butir-butir yang dihubungkan itu ada yang muncul, ada yang tidak dalam ujaran. Asosiataif bersifat psikis: bisa berbicara dengan diri sendiri tanpa mengamati bibir dan geraknya ketika seseorang berbicara. Contoh hubungan asosiatif dalam kehidupan sehari-hari adalah terdapat dalam kata burung. Kata “burung” ini bisa diasosiasikan sebagai alat kelamin laki-laki. Jadi, asosiasi mengandung makna konotasi.
Asosiasi berarti juga ada unsur yang sama dalam pembentukkannya, misalnya: ships dapat diasosiasikan dengan birds, flags, dst. Dix-neuf (sembilan belas) secara asosiasi solider dengan dix-huit (delapan belas) dan soixante (tujuh puluh), dan sebagainya, dan secara sintagmatis, solider dengan unsur-unsurnya yaitu dix (sepuluh) dan neuf (sembilan). Hubungan ganda itulah yang memberinya sebagian dari valensinya; dan solidaritas inilah yang membatasi kesemenaan.
Sedangkan hubungan-hubungan sintagmatis adalah hubungan di antara mata rantai dalam suatu rangkaian ujaran. Hubungan sintagmatis disebut juga hubungan in praesentia karena butir-butir yang dihubungkan itu ada bersama wicara. Dalam wacana, kata-kata bersatu demi kesinambungan, hubungan yang didasari oleh sifat langue yang linear, yang meniadakan kemungkinan untuk melafalkan dua unsur sekaligus. Unsur-unsur itu mengatur diri yang satu sesudah yang lain di rangkaian parole. Kombinasi tersebut yang ditunjang oleh keluasan, dapat disebut: sintagma. Jadi, sintagma selalu dibentuk oleh dua atau sejumlah satuan kata ber-urut-an, misalnya: relire (membaca kembali), contre tous (menentang semuanya), la vie humaine (kehidupan manusia): Dieu est bon (Tuhan Maha Pengasih), s’il fait beau temps, nous sortirons (jika cuaca cerah, kami akan keluar), dst. [32] Begitu terletak di dalam suatu sintagma, suatu istilah akan kehilangan valensinya karena istilah itu dipertentangkan dengan istilah yang mendahului dan mengikuti atau dengan keduanya.
Kata-kata yang mempunyai kesamaan ber-asosiasi di dalam ingatan. Oleh karenanya, membentuk kelompok tempat berbagai hubungan berkuasa. Marilah kita ambil contoh: ketika saya melihat kata “enseignement” (penjajah), secara tidak sadar akan muncul di dalam pikiran saya sekelompok kata lain (misalnya: enseigner ‘mengajar’, renseigner ‘menerangkan’, dst. [33] Apa yang Anda pikirkan jika saya mengucapkan kata “belajar”? pasti Anda berpikir tentang pengajar, murid, ada guru, ada ruangan, dst, itu adalah contoh mekanisme asosiasi. Jadi, hubungan asoasi adalah in absentia karena ketika membaca satu kata, dalam pikiran kita bisa muncul sederet kata lain, walaupun tak ada dalam buku bacaan yang kita baca. [34]
Sedangkan hubungan sintagmatis, menurut Saussure, bersifat in praesentia. Sintagmatis dapat berupa: kata majemuk, kata turunan (misalnya sagen menjadi sagt) dan kalimat. Contoh: contramaitre (mandor). Kata ini adalah kata majemuk: contre ‘kontra’ dan maitre ‘guru’. Kalimat (sintagma) adalah bagian dari parole bukan langue karena ada proses tutur sehingga terjadi perubahan kata. Walaupun demikian, bukan berarti bahwa semua sintagma adalah parole, karena ada ungkapan (dalam bentuk kalimat) yang menjadi langue; karena ungkapan itu merupakan ungkapan baku yang tidak dapat diubah oleh adat bahasa (misalnya: allons donc! ‘ayo’, a quo bon? ‘untuk apa?’, prendre la mouche ‘naik pitam’, a force de ‘berkat’, rompre une lance ‘memperjuangkan’, dst. Ungkapan baku yang telah dikenal umum oleh masyarakat Indonesia, misalnya, “dalamnya laut dapat diduga, dalam hati siapa tahu” tidak mungkin saya menggantikannya menjadi “dalam hati dapat diduga, dalam laut siapa tahu.
BAB VI
SISTEM AKSARA
6.1 Sistem Aksara
Menurut Saussure, ada dua Sistem Aksara, yakni: Pertama, sistem ideografi: kata diungkapkan oleh sebuah lambang tunggal dan tak ada hubungannya dengan bunyi-bunyi yang membentuknya, contoh aksara China.
Kedua, sistem fonetis: mereproduksi urutan bunyi yang berurutan dalam kata (kadang-kadang silabis dan alfabetis) artinya didasari unsur-unsur parole yang tidak teruraikan.
Langue berkembang terus dan aksara cenderung tetap. Akibatnya tidak sesuai lagi dengan apa ayang dilambangkannya, yang logis pada saat tertentu, menjadi tidak logis pada abad kemudian. Suatu saat orang mengubah lambang grafis untuk menyesuaikannya dengan perubahan ucapan.[35] Misalnya, pada abad XI di Perancis terdapat perbedaan antara cara baca (cara mengungkapkan) dengan cara menulis, seperti bagan berikut:
Selain contoh di atas, ada juga ketidaksesuaian antara cara baca (lafal) dengan cara tulis (grafik), misalnya, diucapkan ẻveyẻr tetapi kata itu ternyata ditulis “eveiller”. Selain itu juga ada persoalan dalam pelafan misalnya, dalam bahasa Jerman ada huruf yang hanya didasarkan pada sifat mereka-reka.[36]
6.2 Fonologi
Menurut Saussure, fonetik adalah studi evolusi bunyi, ilmu historis, menganalisis peristiwa, perubahan bergerak bersama waktu.[37] Walaupun demikian, kata Saussure, fonologi berada di luar waktu karena mekanisme pelafalan selalu serupa. Tetapi sebenarnya fonologi hanya suatu disiplin bantu dan bergerak di tataran parole. Padahal, yang mau ditelusuri oleh Saussure lebih pada langue. Sebab, langue merupakan sistem yang didasari oposisi psikis dari bunyi-bunyi seperti permadani merupakan karya seni yang dihasilkan oleh oposisi visual di antara benang dengan berbagai warna. Tetapi yang terpenting adalah percaturan oposisi dan bukan cara menghasilkan warna-warna.
6.2.1 Aksara fonologis
Prinsip aksara fonologis aksara harus dapat dilambangkan dengan suatu tanda, setiap unsur di dalam rangkaian tuturan. Aksara fonologis harus tetap hanya digunakan oleh para ahli linguitik. Aksara berkaitan dengan bentuk tulisan sedangkan fonologi berkaitan dengan ucapan atau fonetik atau cara baca.
6.2.2 Fonem
Pembatasan bunyi-bunyi pertuturan hanya dapat dilakukan atas dasar kesan akustis tetapi deskripsi hanya mungkin dibuat berdasarkan tindak artikulasi karena satuan-satuan akustis tertangkap dalam bentuk rangkaian tak teranalisis. Dalam bunyi ada keseragaman yang sama dalam tugas laring dan rongga hidung; sedangkan keaneka-ragaman yang sama terjadi di dalam tugas rongga mulut. Tetapi yang menghasilkan variasi fonologis yang membuat kita dapat membedakan bunyi bahasa adalah bunyi laring seragam. Menurut Saussure, hidung berperan sebagai resonator bagi getaran berbunyi yang melaluinya; sehingga dengan demikian, hidung juga menrupakan penghasil bunyi. Rongga mulut berperan sebagai genesator dan resonator.[38]
Penutup
Hari-hari ini bahasa dipandang begitu penting oleh kaum strukturalis dan filsuf lainnya. Mengapa? Karena bahasa adalah alat aktualisasi dan artikulasi diri. Kita mampu memaknai pengalaman kita lewat bahasa. Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi-interaktif dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Walaupun demikian, kita harus mengakui bahwa ada banyak sisi negatif dari bahasa. Dewasa ini, bahasa bukan hanya difungsikan sebagai media komunikasi tetapi bahasa juga menjadi medan persembunyian diri. Bahasa menjadi ranah memperjuangkan ideologi-ideologi tersembunyi yang sering menindas dan mendatangkan neraka bagi yang lain.
Postinus Gulö adalah lulusan Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung
Footnotes
[1] Lihat Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum (Jogyakarta: Gajah Mada University Press, 1993), hlm. 2-3 dan 374-378
[2] Ibid., hlm. 24
[3] Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, Ibid., hlm. 6. Lihat juga Christopher John Murray (Editor), Encyclopedia of Modern French Thought (New York: Taylor & Francis Group), hlm. 574-575. For Saussure, langue was the linguistic code, the set of conventions one learns when acquiring a language. It is independent of any individual’s conscious attempt to modify the linguistic system. Saussure considered langue to be true object of linguistics. Parole refers to the collectivity of all linguistic utterances made by speakers of a certain language. That is, parole is the dynamic expression of langue. whereas langue is social, parole is individual, and two together comprise what Saussure calls langage.
[4] hlm. 155
[5] hlm. 9
[6] Maksud dari “pengaturan diri” adalah bahwa struktur tidak pernah meminta bantuan dari luar untuk
melaksanakan prosedur tranformasional, jadi struktur itu bersifat tertutup.
[7] hlm. 82-84
[8] hlm. 93
[9] hlm. 193
[10] hlm. 6
[11] hlm. 86
[12] hlm. 17-18
[13] hlm. 203
[14] hlm. 204
[15] hlm. 209-210
[16] Bandingkan hlm. 212-215
[17] hlm. 217
[18] hlm. 20
[19] hlm. 200
[20] hlm. 167
[21] hlm. 169
[22] hlm. 178
[23] hlm. 175
[24] hlm. 187
[25] hlm. 13. Petanda merupakan kelas makna sedangkan penanda merupakan kelas pembunyian
[26] hlm. 13
[27] hlm. 149
[28] hlm. 154-155
[29] hlm. 80 dan 150
[30] hlm. 15-16
[31] hlm. 157
[32] hlm. 219
[33] hlm. 79-80 dan 221
[34] hlm. 220
[35] hlm. 96
[36] Lihat hlm. 100-101
[37] hlm. 103
[38] hlm. 115-116
JUMAT, 23 MEI 2008
Paradigma Masyarakat Cina (Terinspirasi Film The Hero)
Judul Film : The Hero. Pemain : Wu Ming, Fei Xue, Can-Jian, Liu Shui, etc. Peneropong: Postinus Gulö
Film The Hero menarik, sekurang-kurangnya bagi saya sendiri. Menarik karena filofosis. Sisi kefilosofiannya terlihat dari isinya. Isinya adalah paradigma Cina yang spektakuler dan piawai itu. Selamat menikmati suguhan ulasan ekspansif sederhana film ini, tentu, dari perspektif saya sebagai peneropong.
Kaisar (raja) adalah simbol Our Land (pemersatu)
Wu Ming (nameless) adalah seorang pemuda yang kuat dan tangkas. Ia berasal dari Kerajaan Zhao, tetapi dibesarkan di Kerajaan Qin. Antara Qin dan Zhao saling bermusuhan. Demikian juga Fei Xue, Can-Jian dan Liu Shui berasal dari Zhao. Namun, di antara mereka hanya satu orang yang mengerti paradigma Cina bahwa raja tak boleh dibunuh, walaupun ia sangat kejam. Pemuda itu bernama Can Jian.
Bagi Can Jian, Kaisar adalah pemersatu dan pendamai yang dalam bahasa Can Jian (juga Wu Ming setelah disadarkan Can Jian) disebut simbol “OUR LAND”. Itu sebabnya Can Jian tidak terpengaruh dengan tindakan teman-temannya yang berusaha membunuh sang Our Land. Di akhir cerita, Wu Ming sadar “lebih baik satu orang mati demi orang banyak”. Wu Ming bersedia mati asal sang raja selamat. Raja adalah “kepala” rakyat. Raja adalah daya ikat dan daya pikat yang mempersatukan yang tercerai-berai. Jadi, di sini yang ditekankan adalah menang itu bukan berarti mengeliminasi yang lain. Perang harus berujung pada perdamaian. Tesis Can Jian ini benar. Pada tahun 201 B. C, Kaisar Qin Shi Huang menjadi raja pertama Qin dan berhasil mempersatukan masyarakat Cina. Filsafat Cina tidak mengenal dikotomi. Antara dua sisi yang berbeda “saling” menjadi bagian dari yang lain. Itu sebabnya, hal yang paling mendasar dalam paradigma Cina adalah harmoni dan keseimbangan.
Relasional-Harmoni
Harmoni adalah salah satu tema pokok filsafat Cina. Penonjolan gerak dan diam, sedikit dan banyak, kaligrafi(diam) dan panah (gerak) dalam film The Hero, sebenarnya sebagai upaya untuk menunjukkan bahwa Cina berparadigma: di antara dua kutub harus dicari jalan tengah, keseimbangan, hubungan relasional-harmoni. Relasional-harmoni tersebut dapat kita lihat juga dalam beberapa paradigma Cina yang cukup filosofis.
Pertama, Yin-Yang: adalah dua prinsip induk dari seluruh kenyataan. Yin itu bersifat pasif, prinsip ketenangan, surga, bulan, air, perempuan, simbol kematian, dan dingin. Yang itu bersifat aktif, gerak, bumi, matahari, api, laki-laki, simbol untuk hidup dan simbol panas. Segala sesuatu dalam kenyataan manusia adalah sintesis harmonis dari derajat Yin dan Yang.
Yin-Yang saling tergantung dan saling melengkapi, selalu berhubungan dan secara terus-menerus saling memberi kekuatan (simbiosis mutualistis). Jadi, antara Yin dan Yang terjadi keseimbangan, dan harmoni. Menurut Tao The Ching, suatu kekuatan, objek atau gagasan tak akan lengkap bahkan tak berarti tanpa ditunjang keadaan sebaliknya. Kesulitan dan kemudahan saling melengkapi. Panjang dan pendek saling membanding. Tinggi dan rendah saling membedakan. Kebaikan tak punya arti tanpa kejahatan, kecantikan tak akan dipandang tanpa kehadiran si buruk sebagai pembanding.
Kedua, Feng Shui: yang ditekankan adalah harmoni antara manusia dengan alamnya. Atmosfir rumah, misalnya bisa berpengaruh pada manusia yang menghuni rumah tersebut. Ketiga, Penghormatan Leluhur dan Dewa-Dewi. Di balik ritual penghormatan kepada leluhur dan dewa-dewi, sebenarnya ada yang perlu dicapai orang Cina yakni demi membina relasi terhadap leluhur dan dewa/i. Roh nenek moyang (makhluk halus) bagi orang Cina dipahami secara fisikal. Ia juga bisa memberi rezeki, dan kemakmuran kepada anak cucu-cicitnya. Oleh karena itu, relasi itu penting agar hubungan kekeluargaan (dengan nenek moyang) tidak pernah putus. Penghormatan kepada nenek moyang merupakan intisari dalam kepercayaan tradisional Tionghoa. Ini dikarenakan pengaruh ajaran Konfusianisme yang mengutamakan bakti kepada orang tua termasuk leluhur jauh.
Pluralisme
Orang Cina sangat menghargai pluralisme (keperbedaan). Penerimaan mereka terhadap pluralisme dapat kita lihat dalam paham mereka tentang beberapa ide universal, antara lain: Pertama, Toleransi. Bangsa Cina pada dasarnya menghargai pendapat orang lain, sehingga Cina memandang pluralitas sebagai hal yang mesti diterima dan wajar. Kedua, Perikemanusiaan. Pemikiran Cina lebih antroposentris (humanis) daripada filsafat Barat. Prinsip humanis merupakan inti ajaran Konfusius.
Gerak dan Diam (hening)
Dalam film The Hero, kedua term ini begitu tampak. Pemimpin Zhao melalui kaligrafinya percaya bahwa mereka tidak apa-apa dengan serangan panah dari Qin. Zhao percaya bahwa panah (bergerak) bisa dilawan dengan hanya duduk diam sambil melukis kaligrafi. Jadi, yang bergerak dilawan dengan yang diam. Kita mungkin masih teringat kata-kata Rinzai, seorang Master Zen (sekitar abad ke-9 masehi): "Jika kamu ingin menghayati Zen dengan bergerak, hal itu berarti memasuki keheningan. Jika kamu ingin menghayati Zen di dalam keheningan, hal itu berarti memasuki gerak”. Diam, dalam filsafat Cina di sebut Chanisme, mengajarkan tentang: perwujudan ketunggalan sejati individu dengan budi semesta (kekosongan). Budi semesta dipahami sebagai wu nian (tiada pikiran), wang jing (melupakan perasaan), dan ren xin (membiarkan budi menempuh jalan sendiri)- lihat Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 4 (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1989), hlm., 138.
Konstruksi Berpikir Pola Tiga
Paradigma Pola Tiga tidak hanya Cina yang memilikinya. Sunda juga sama. Walaupun dengan istilah yang berbeda : tritangtu. Pola tiga masyarakat Cina tercermin dalam paradigma berpikir dan bertindak mereka tentang filosofi pedang, marga dan harta kehidupan.
Marilah kita mengulas paham masayarakat Cina tentang pedang. Dalam film The Hero, ada 3 tahapan untuk memahami apa itu pedang. Pertama, pedang adalah manusia dan manusia adalah pedang. Singkatnya ada kombinasi antara manusia dan pedang. Bahkan rumput yang ada di tangan manusia pun bisa menjadi pedang. Kedua, pedang ada di dalam hati. Inilah yang disebut dengan tenaga dalam: melawan yang bergerak dengan sikap diam. Ketiga, tidak (perlu) ada pedang. Tahap terakhir ini merupakan tahapan tingkat tinggi. Karena di sini dipahami bahwa pedang bukan lagi untuk membunuh melainkan untuk kedamaian dan memperjuangkan hidup manusia.
Lantas bagimana paham masyarakat Cina tentang marga ? Bagi masyarakat Cina ada 3 Karakter Marga. Pertama, marga yang terdiri dari satu karakter. Kedua, marga yang berkarakter ganda. Ketiga, marga yang berkarakter 3 sampai 9. Angka 9 berarti kelipatan dari angka tiga juga. Di balik pemakaian marga ini sebenarnya juga mau mengungkapkan bahwa Cina selalu terikat pada kultur, walaupun mereka berada di perantauan. Marga inilah yang memperat tali persaudaraan, bahkan jaringan kerja dan bisnis masyarakat Cina kadang terbangun berkat daya ikat marga itu.
Terakhir adalah tentang Tiga Harta Kehidupan. Dalam ilmu kesehatan Taoisme ada tiga harta kehidupan yakni, jing (esensi), chi (energi), dan shen (spirit). Seperti Yin dan Yang, tiga harta ini berbeda namun mereka saling bergantung antara satu dengan lainnya, tetapi tidak saling melebur. Chi adalah mediator, penengah, penghubung. Menurut Taoisme, semua bentuk kehidupan di jagat ini digerakkan oleh chi yang notebene tak kelihatan, hening, tak berbentuk sebelum menembus segala sesuatu.
Marilah kita mengikuti ulasan seputar tiga harta kehidupan ini. Jing mengandung 3 unsur: esensi darah, esensi hormon, esensi yang yang termasuk cairan berat (kelenjar, pelumas di persendiaan tulang dan jaringan lain yang berhubungan dengan air mata, keringan dan urine).
Chi terbagi tiga: yuan-chi (energi primordial, biasanya ada pada anak-anak), yang-chi (energi yang berkembang dalam tubuh selama berlangsungnya hubungan seksual yang bersatu dengan kehangatan, kecerahan dan gerak) dan wei-chi (energi pelindung). Dalam versi Feng shui, energi terdiri dari 3 macam: Pertama, Heaven Chi (Tian Chi) : energi langit/semesta yang terpancar dari surga ke bumi (seperti, sinar matahari, sinar bulan, daya tarik bulan yang menyebabkan pasang-surut laut. Kedua, Di Qi atau Earth Chi: menyerap chi alam semesta dan berpengaruh terhadap bumi seisinya. Bangsa Cina percaya bahwa Earth Qi menyusun garis dan pola energi, termasuk medan magnet bumi dan medan panas bumi. Energi ini juga harus seimbang, kalau tidak maka gempa akan terjadi. Ketiga, Ren Chi (energi manusia) yang terpengaruh oleh chi Tian Chi, dan Di Qi.
Nah, harta kehidupan terakhir bagaimana? Taoisme menerima shen (spirit) sebagai kumpulan bunga-bunga dari “tri-tunggal” Tao, yang melayani esensi tubuh seperti layaknya akar pohon dan energi sebagai batang penghubung.
Sirkulasi Energi dan Feng Shui
Dalam ilmu Feng Shui, diyakini bahwa pada dasarnya semua yang ada di jagad raya ini adalah energi (panas, kimia, gerak, cahaya, elektromagnetis, dll.). Oleh sebab itu, siklus energi dalam rumah, misalnya akan berpengaruh pada banyak aspek kehidupan penghuninya. Manfaat Feng Shui dalam rumah sangat berarti terutama dalam menjaga kesehatan dan juga mengantisipasi gangguan lainnya bagi sipenghuni rumah. Misalnya, pasangan suami istri susah mendapatkan anak, bisa jadi karena ada yang tidak cocok dengan tata rumah, ranjang, asesoris rumah lainnya. Singkatnya, Cina berparadigma (dalam feng shui) bahwa manusia mesti menyatu dengan alamnya. Makanya, feng shui juga diartikan sebagai tatanan yang harmonis antara alam dengan makhluk hidup. Tegasnya, Feng Shui mengajarkan pada kita bahwa kita mesti bersahabat dengan alam. Alam itu sangat mempengaruhi hidup-matinya manusia!
Sebagian paradigma Cina di atas terdapat juga dalam kebudayaan Indonesia. Misalnya, feng shui yang mengajarkan bahwa atmosfir di sekitar rumah (termasuk tata letak) mempengaruhi penghuninya, hal itu juga diyakini masyarakat Nias. Di Pulau Nias, ukuran rumah, dan letak rumah (misal, pintu menghadap ke mana: Timur atau Barat, Selatan atau Utara), selalu dicocokkan dengan ukuran badan kepala keluarga. Kalau tidak, rumah tersebut menjadi penghalang rezeki bagi sipenghuninya. Sehingga, saya berhipotesis: Filsafat Cina ini, sebenarnya mewakili filsafat Asia, yang notabene tak kalah canggihnya dengan filsafat Barat. Jika Filsafat Asia (Cina) menekankan harmoni, dan relasional. Barat menekankan dualisme, bipolar, antagonistic (misalnya, a dan bukan a) yang selalu dipertentangkan, bukan diperpadukan dan diseimbangkan.
Berdasarkan paradigma-paradigma di atas, masyarakat Cina itu selalu menekankan sisi mistik, sedangkan Barat adalah sisi rasionalitas. Mungkin bagi Cina sendiri, paradigma mereka adalah sesuatu yang rasional. Sedangkan paradigma Barat (bagi Cina) sesuatu yang irasional, demikian sebaliknya. Oleh karena itu, tentu kedua kubu ini selalu menawarkan kebenaran dan paradigmanya sesuai cara berpikirnya. Hal lain yang perlu saya komentari adalah jika Barat melihat waktu secara linear, masyarakat Cina melihatnya lain: siklis. Hal itu bisa kita lihat dalam paradigma Cina bahwa jagad raya ini, diatur oleh sirkulasi energi. Pada titik itu, jangan-jangan paradigma Cina ini, bertendensi seperti teorinya Einstein yang mengatakan: materi = immaterial, yang ujung-ujungnya mengakui bahwa yang kekal di jagad ini adalah energi. Menurut Bpk. Prof., Dr. Ign. Bambang Sugiharto (dalam kuliah logika dan Bahasa), penekanan pada energi, relasional dan harmoni itu sangat kental dalam teori Santiago; walaupun dengan bahasa yang agak berbeda, yakni bahwa yang kekal adalah tendensi. Tendensi bisa diartikan sebagai energi. Sedangkan prinsip relasional a la Santiago adalah bahwa segala makhluk di alam ini berada dalam jaring-jaring interaksi kognitif, ibarat rantai makanan. Jika demikian, energi dan relasi itu sangat penting untuk memahami realitas. Saya sangat kagum akan paradigma-paradigma Cina ini, terutama kecanggihan mereka memadukan antara kebudayaan dengan kecanggihan rasionalitas dan logika hati. Misalnya, feng shui sering dirasionalisasikan ibarat ilmu fisika, dan seolah-olah tidak berdimensi klenik. Memang, Feng Shui itu adalah local genius yang perlu dipelihara dan dikembangkan.
JUMAT, 11 APRIL 2008
Memperdebatkan Agama?
Sering kita memperdebatkan agama, begitu juga Tuhan, kita mendiskusikan-Nya. Tetapi, pernahkah kita berpikir bahwa agama itu hanyalah sarana, atau seperti kata Leonardo Boff: agama adalah tempat berjualan keselamatan. Dan, bagi saya kata Boff itu tepat, agama, bagi saya, adalah bengkel keselamatan. Dalam arti, kita berdosa lantas kita menyesal dan minta ampun di hadapan Allah, lantas kita percaya: dosa kita terampuni. Segampang itukah?
Dalam merenungi kehidupan ini, saya kadang berfeleksi begini: kita sering mempercayai bahwa Allah itu adalah Mahabesar, Mahaagung, Mahasegalanya, Ia ada di mana-mana (omnipotens), melampaui waktu dan tempat, tanpa akhir dan tanpa awal. Tapi, serta merta juga kita menempatkan Allah di satu titik, manakala kita memagarnya dengan agama kita, yang notabene hanyalah tangga menggapai dan memahami siapa Allah itu. Kita menempatkan Allah tidak di mana-mana manakala kita menganggap tempat-Nya ada di atas!
Dalam merenungi kehidupan ini, saya kadang berfeleksi begini: kita sering mempercayai bahwa Allah itu adalah Mahabesar, Mahaagung, Mahasegalanya, Ia ada di mana-mana (omnipotens), melampaui waktu dan tempat, tanpa akhir dan tanpa awal. Tapi, serta merta juga kita menempatkan Allah di satu titik, manakala kita memagarnya dengan agama kita, yang notabene hanyalah tangga menggapai dan memahami siapa Allah itu. Kita menempatkan Allah tidak di mana-mana manakala kita menganggap tempat-Nya ada di atas!
JUMAT, 07 MARET 2008
The End of Intelligence Quotient?
Dalam buku If Aristotle Ran General Motors: The New Soul Business,Tom Morris mengindikasikan (secara implisit) bahwa wisdom adalah gejala baru dalam kultur postmodern. Tren ini mengindikasikan terjadinya konvergensi (titik temu) antara dua gagasan yang berbeda (misalnya spiritualitas vs bisnis, Allah vs Mamon) yang notabene tidak bisa digabungkan oleh Yesus.
Bagi Tom Morris, making money bukanlah kegiatan yang haram seperti yang difatwakan oleh institusi religius. Cari uang (making money) adalah kegiatan sakral: kesempatan untuk memuliakan nama Allah, lahan untuk melayani Allah dan manusia sebagaimana tuntutan Yesus. Lantas, bagaimana caranya? Caranya adalah mesti membawa spiritualitas ke dalam bisnis. Mesti membawa hati nurani ke dalam dunia usaha sehingga tidak terjadi korupsi. Jadi, making money menjadi kegiatan sacral manakala bertujuan memuliakan Allah. Hal inilah yang disebut dengan manajemen berbasis hati nurani.
Trend mempertemukan dua hal yang berbeda (konvergensi) terlihat dari gejala bahwa banyak literatur, tulisan, karangan, ceramah, yang membahas tentang konvergensi. Selain itu, timbul pandangan yang holistik (lengkap) tentang akal budi. Sekitar tahun 1990-an dunia psikologi menekankan IQ (sisi kognitif). Kemampuan seseorang hanya diukur dengan IQ. Tapi sekarang, ada ilmu baru: EQ dan SQ. Pendeknya, terjadi evolusi pengetahuan dan kesadaran.
Tahap-Tahap dan pergeseran IQ ke EQ dan ke SQ
a. Intelligence Quotient (IQ)
Reason dalam IQ dianggap sebagai kemampuan menyelesaikan masalah. Menurut test IQ, semakin cerdas seseorang (secara kognitif) semakin tinggi kemampuan seseorang untuk menyelesaikan masalah. Nah, bagaimana mengukur bahwa seseorang itu cerdas? Cara mengukurnya adalah membuat test IQ yang terbagai dalam dua (2) bagian. Pertama, test linguistik. Dan kedua adalah test matematika. Melalui test linguistik, seseorang ditest kemampuannya untuk memahami ide atau kata. Test ini sama dengan textual understanding.
Seseorang ditest kemampuannya untuk memperkaya teks dengan pengalamannya sendiri. Konkretnya, yang ditest adalah kemampuan mengarang, kemampuan naratif seseorang. Contoh: bagaimana merangkai kata “matahari terbit, petani, kerbau” menjadi satu karangan logis dan saling berkaitan. Melalui test ini, seseorang ditest kemampunnya bagaimana dia mengolah kata dan data. Singkatnya, yang diharapkan dari test IQ adalah mampu mengetahui kemampuan kognitif seseorang sejauh mana seseorang itu mengetahui banyak hal (to knowing something). Selain itu, untuk mengetahui psiko-motorik, yakni sejauh mana seseorang mampu melakukan sesuatu (to do something or to operate something).
b. Emotional Quotient (EQ)
Bagi Tom Morris, making money bukanlah kegiatan yang haram seperti yang difatwakan oleh institusi religius. Cari uang (making money) adalah kegiatan sakral: kesempatan untuk memuliakan nama Allah, lahan untuk melayani Allah dan manusia sebagaimana tuntutan Yesus. Lantas, bagaimana caranya? Caranya adalah mesti membawa spiritualitas ke dalam bisnis. Mesti membawa hati nurani ke dalam dunia usaha sehingga tidak terjadi korupsi. Jadi, making money menjadi kegiatan sacral manakala bertujuan memuliakan Allah. Hal inilah yang disebut dengan manajemen berbasis hati nurani.
Trend mempertemukan dua hal yang berbeda (konvergensi) terlihat dari gejala bahwa banyak literatur, tulisan, karangan, ceramah, yang membahas tentang konvergensi. Selain itu, timbul pandangan yang holistik (lengkap) tentang akal budi. Sekitar tahun 1990-an dunia psikologi menekankan IQ (sisi kognitif). Kemampuan seseorang hanya diukur dengan IQ. Tapi sekarang, ada ilmu baru: EQ dan SQ. Pendeknya, terjadi evolusi pengetahuan dan kesadaran.
Tahap-Tahap dan pergeseran IQ ke EQ dan ke SQ
a. Intelligence Quotient (IQ)
Reason dalam IQ dianggap sebagai kemampuan menyelesaikan masalah. Menurut test IQ, semakin cerdas seseorang (secara kognitif) semakin tinggi kemampuan seseorang untuk menyelesaikan masalah. Nah, bagaimana mengukur bahwa seseorang itu cerdas? Cara mengukurnya adalah membuat test IQ yang terbagai dalam dua (2) bagian. Pertama, test linguistik. Dan kedua adalah test matematika. Melalui test linguistik, seseorang ditest kemampuannya untuk memahami ide atau kata. Test ini sama dengan textual understanding.
Seseorang ditest kemampuannya untuk memperkaya teks dengan pengalamannya sendiri. Konkretnya, yang ditest adalah kemampuan mengarang, kemampuan naratif seseorang. Contoh: bagaimana merangkai kata “matahari terbit, petani, kerbau” menjadi satu karangan logis dan saling berkaitan. Melalui test ini, seseorang ditest kemampunnya bagaimana dia mengolah kata dan data. Singkatnya, yang diharapkan dari test IQ adalah mampu mengetahui kemampuan kognitif seseorang sejauh mana seseorang itu mengetahui banyak hal (to knowing something). Selain itu, untuk mengetahui psiko-motorik, yakni sejauh mana seseorang mampu melakukan sesuatu (to do something or to operate something).
b. Emotional Quotient (EQ)
Sekitar tahun 1990-an seorang psikolog, Daniel Goleman memunculkan istilah baru dalam dunia psikologi dan istilah ini langsung ditangkap dan ditanggapi publik. Beliau mempromosikan istilah “EQ”. Goleman mengamati bahwa ada bagian hidup yang (ter/di)abaikan padahal paling penting, yakni dimensi “living and working together”. Ini adalah fakta yang terus-menerus dihayati manusia. Manusia mau tidak mau harus bekerjasama. Oleh karena itu EQ sangat dominan di wilayah ini. EQ bisa mengganggu bisa juga mengembangkan pribadi manusia.
Dulu, faktor emosional sering dianggap negatif. Lantas, Goleman meneliti EQ apakah emosional bernilai positif. Ternyata emosional sangat positif dan sangat menentukan dalam dunia kerja. Semakin tinggi EQ semakin positif dan semakin turun EQ semakin negatif. Seseorang yang memiliki EQ tinggi akan mampu menyadari “feeling and mood” apa yang terpendam. Ada dua manfaat dari kemampuan menyadari feeling and mood.
Pertama, memberi kombinasi antara self control (control diri) dan self motivation (motivasi diri) sehingga seseorang mampu mendahulukan mana yang mesti diprioritaskan. Self control sangat penting agar kita tidak “moody” tidak angin-anginan, tidak mudah eksplosif (meledak-ledak, menekan orang, bertengkar melulu). Melalui self control, seseorang diharapkan mengutamakan kewajiban daripada perasaan, kepentingan ego.
Kedua, untuk meningkatkan kemampuan menyadari perasaan orang lain (daya empati). Yang terakhir ini memiliki dua manfaat. Pertama, daya empati memperlancar konsensus ketika terjadi misunderstanding. Kedua, daya empati meningkatkan daya compassion, murah hati: kemampuan untuk merespons suka-duka orang lain.
Dengan cara ini (menyadari dimensi EQ), maka seseorang menjadi partner/rekan dan neighbor (sesama). Melalui “bersama” orang lain, EQ berusaha menjawab pertanyaan Kain: apakah aku penjaga adikku? Pertanyaan Kain ini pertanda bahwa ia tidak peka, menghindar dari tanggungjawab dan kewajiban. Dan, dalam uraian di atas, pertanyaan Kain ini sudah terjawab: bahwa Kain adalah penjaga adiknya!
c. Spirituality Quotient (SQ)
Sekitar tahun 2000-an ketika terjadi peralihan millennium, timbul trend dan istilah baru, yakni Spirituality Quotient (SQ). Pencetusnya adalah Danah Zohar, dan suaminya, Ian Marshall. Sebelumnya sudah saya bahas bahwa IQ mau memecahkan masalah knowing and doing, dalam arti bagaimana mengetahui lebih baik dan mengerjakan lebih baik. Dengan kata lain, IQ memberi kita kompetensi. Sedangkan EQ mau memecahkan dan menjelaskan living and working together, dalam arti bagaimana menciptakan harmoni dan suasana kondusif dalam pergaulan sehari-hari. Singkatnya, EQ membangun ko-eksistensi (eksis/rasa berdampingan bersama orang lain).
Nah, SQ itu mau memecahkan apa? SQ berurusan dengan masalah being and becoming (berada dan menjadi). SQ mau memecahkan masalah: bagaimana menjadi pribadi yang benar dan baik. Dengan kata lain, SQ mau memberi nasihat tentang otensitas kepada kita. Otensitas adalah keaslian dan kesejatian karakter. Lawannya adalah munafik, seperti orang Farisi. Selain itu, SQ mau memecahkan problem mengapa kita mesti “care” pada orang lain, atau pada ke-hidup-an. Membangun kedalaman SQ, dewasa ini, amatlah penting. Apalagi dunia sedang dilanda budaya kematian: berusaha membunuh yang lain. Mereka yang terjerembab ke budaya ini, semoga menyadari bahwa tindakan tersebut tidaklah baik dan tidak bijaksana.
* Artikel ini sangat dipengaruhi oleh kuliah-kuliah yang diberikan Pst. Agustinus Rachmat Widiyanto, OSC., L.Ph dalam matakuliah Seminar Filsafat dan Teologi di Fakultas Filsafat Unpar, Bandung.
Kunci Berfilsafat
Oleh Postinus Gulö *
Konon, filsafat pertama kali dicetuskan oleh Pythagoras (582-496 BC). Kala itu, Pythagoras menyebut dirinya sebagai philosophos, “kawan kebijaksanaan”. Itu sebabnya, etimologi filsafat adalah philos berarti cinta, sahabat, kawan. Dan, Sophos (sophia) berarti kebijaksanaan, hikmat, pengetahuan. Jadi, seorang filsuf adalah sahabat, pencinta dan pencari kebijaksanaan. Konsep Pythagoras tentang filsafat perlu kita ketahui bersama. Tujuannya adalah agar kita jangan dan tidak rancu serta salah kaprah memahami apa itu filsafat dan bagaimana kita berfilsafat. Pythagoras mengatakan bahwa hanya Tuhanlah yang memiliki kebijaksanaan sempurna. Dan, Tuhan adalah sumber kebijaksanaan.
Manusia hanyalah sebagai “sahabat kebijaksanaan”. Itu sebabnya – dikemudian hari - Plato mengejek para sofis karena mereka-mereka ini mengklaim diri sebagai orang yang merasa tahu memberi jawaban atas semua pertanyaan. Padahal, mereka sebenarnya tidak tahu. Para sofis hanyalah orang-orang yang cerdas secara retorik! Mereka adalah orator-orator ulung yang mampu menghipnotis massa. Menurut Ernst Cassirer, tujuan para sofis ber-retorika hanyalah demi mencari uang atau untuk mencapai tujuan-tujuan yang mereka kehendaki. Dari uraian ini, maka ada beberapa “kunci” yang mesti diperhatikan dalam berfilsafat.
Pertama, seseorang yang berfilsafat dan yang mempelajari filsafat bukan justru menjauh dari kebijaksanaan melainkan mencari kebijaksanaan. Dengan kata lain, orang yang belajar filsafat bukan menjauh dari iman (karena ini juga butir-butir kebijaksanaan). Tom Morris menyebut bahwa wisdom dapat diperoleh dari intensitas kita mempelajari filsafat dan religi (teologi).
Kedua, seseorang yang berfilsafat harus menyadari bahwa kebijaksanaan itu memiliki wajah yang plural (setiap suku bangsa memiliki kebijaksanaan atau kearifan lokal). Singkatnya, kebijaksanaan tidak hanya satu, percik-perciknya banyak. Yang satu adalah sumber kebijaksanaan, yakni Allah.
Ketiga, seseorang yang berfilsafat tidak tepat jika ia mengklaim diri sebagai orang yang “paling” benar, orang yang telah menemukan kebijaksanaan sempurna. Sepanjang manusia masih hidup, ia harus selalu dalam ruang pencarian. Semakin mencari kebijaksanaan berarti semakin mengarahkan diri pada sumber kebijaksanaan itu sendiri.
Keempat, tesis-tesis para filsuf, sejatinya hanyalah hipotesis. Sebab, tesis-tesis tersebut masih terbuka pintu kemungkinan untuk “disempurnakan” oleh para pemikir lain. Seperti kata Karl Popper, sifat dari pengetahuan adalah tentatif. Paling banter mendekati kebenaran. Ada hal penting yang disasar di sini, yakni ketika kita merasa telah menemukan kebenaran, lantas kita stagnan merayakan penemuan itu. Akibatnya, tidak ada usaha untuk mencari pengetahuan yang lebih sempurna dan pengetahuan yang lebih banyak menjelaskan. Pengetahuan yang telah ada itu harus difalsifikasi agar kebenarannya semakin teruji.
Kelima, mereka yang berfilsafat dan belajar filsafat idealnya adalah figur-figur yang mengarahkan dan mendorong massa mendekati kebijaksanaan. Bahkan, para filsuf idealnya adalah orang-orang yang mampu menyelesaikan masalah (problem solver) secara bijaksana dan bukan justru menambah masalah. Jika para filsuf menciptakan gagasan baru idealnya mereka harus mampu menjawab permasalahan yang ditimbulkan oleh gagasan itu.
Keenam, seseorang yang berfilsafat, yang mempelajari filsafat atau para filsuf idealnya adalah tokoh-tokoh heroik yang peka melihat kelemahan dan keunggulan suatu gagasan serta mampu mensintesiskannya. Bahkan idealnya, mampu membaca fenomena kehidupan, roh zaman (zeitgeist). Singkatnya, para filsuf idealnya adalah orang-orang yang kritis (dekonstruktif dan rekonstruktif) dan vokalis.
Ketujuh, kebijaksanaan bukan dogma. Kebenaran bukan dogma. Dan, filsafat bukan dogma. Dengan kata lain, orang yang berfilsafat harus membuka diri pada kritik bahkan mesti mengevaluasi diri. Mengapa? Agar jangan jatuh pada pola pikir picik yang solipsis dan proselitis. Dan, yang paling penting adalah berfilsafat berarti berdialog (baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain). Seseorang tidak mungkin berkata: saya tahu tetapi saya tidak mampu mengatakannya. Gagasan, ide tentu tidaklah “dinimati” sendiri oleh pencetusnya, karena jika demikian ia sedang terperangkap dalam “masturbasi intelektual”. Ia mesti mengartikulasikan, memperkatakan gagasannya tersebut ke orang lain. Socrates, barangkali guru kita mengenai hal ini. Metode beliau dalam berfilsafat adalah berdialog dengan rakyat. Tom Morris, seorang filsuf lulusan Yale University sangat mengagumi Socrates. Soalnya, Socrateslah filsuf pertama yang membawa filsafat ke pasar. Beliau menerapkan filsafat menjadi relevan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, filsafat bukan wacana di menara gading.
Hari-hari ini, banyak orang yang sinis terhadap filsafat dan filsuf. Filsafat dianggap sebagai biang keladinya orang menjadi ateis. Bahkan filsafat dipandang sebagai ilmu yang mengakibatkan terjadinya “anarkhi” intelektual. Klaim-klaim yang mengerikan itu kian membabi-buta filsafat. Dan, barangkali jika filsafat itu adalah manusia, tulang-tulangnya remuk dihantam badai tekanan. Kata mereka, filsafat itu memperumit yang tidak rumit, mempermasalahkan hal-hal yang seharusnya tidak perlu dipermasalahkan. Lebih parah lagi, ketika dunia sedang menikmati budaya instan justru filsafat memperumit hal yang jelas. Itu klaim-klaim yang sering terdengar. Ironisnya, klaim-klaim itu juga datang dari para filsuf. Jadi, aneh, bukan? Mereka memporak-porandakan diri mereka sendiri. Mereka menyayat jantung mereka sendiri!
Filsuf mutakhir, Horkheimer pernah berkata: suasana umum abad ini berada di tengah rasional instrumental.” Ucapan Richard Rorty lebih ketus lagi. Beliau berkata bahwa filsafat jatuh ke dalam “jurang” rasional pragmatis sehingga sebenarnya filsafat tidak ada gunanya. Filsafat hanyalah “kemewahan yang percuma”. Filsafat bukan menyelesaikan masalah melainkan menciptakan masalah. Filsafat hanyalah verbalisme kosong. Bahkan berfilsafat adalah pekerjaan orang pengangguran dan frustrasi. Kalaupun filsafat itu masih menarik dan berharga, hanya sebagai barang antik atau ornamen snobis (pajangan). Maka, buku-buku filsafat hanyalah menarik untuk dipajang bukan untuk dibaca. Dan, para filsuf sejatinya hanyalah orang-orang yang pingin tampak intelektual, tampak modern padahal tidak demikian pada kenyataannya.
Kritik pedas di atas tidak boleh dianggap kosong dan mengada-ada. Marilah kita jadikan sebagai pendorong bagi kita (terutama yang suka akan filsafat) untuk kembali pada visi dasar filsafat: mencari dan menjadi sahabat kebijaksanaan. Kritik-kritik ketus itu ada benarnya juga. Misalnya, ketika bidang-bidang lain begitu spesifik dan jelas justru filsafat persis diposisi kebalikannya: spesialis filsafat adalah generalis. Ini kan contradictio interminis.
Hujatan bertubi-tubi terus menusuk ulu hati para filsuf. Para saintis, misalnya, tidak suka terhadap omongan-omongan para filsuf yang kabur, fiktif, abstrak, tanpa ukuran keabsahan. Dengan kata lain, orang yang berfilsafat adalah orang yang ngomong sesuka hati. Misalnya, Schopenhouer mengatakan bahwa inti kenyataan dunia adalah kehendak buta. Tetapi datang Hegel dan berkata, bukan tapi Roh. Nah, kalau sains kan jelas. Misalnya, air mendidih 100 derajat Celsius. Tesis ini bisa dibuktikan, bukan?
Filsafat sejajar dengan sastra (novel, puisi) bukan ilmu, bukan sesuatu yang serius, tidak substantif. Seharusnya, buku-buku filsafat hanya dibaca pada waktu sengggang. Bahkan di Indonesia pun (pernah terjadi di Bandung), filsafat dianggap sebagai bahaya karena menggoncangkan “kelaziman” dan melahirkan “kezaliman” (subversi, bida’ah). Filsafat, menurut mereka yang mengklaim begitu, sangat berbahaya bagi institusi agama. Inilah sederet sumpah serapah, ejekan dan ungkapan kejengkelan terhadap filsafat.
Menurut Deleuze, filsafat bukan mencari esensi, bukan mencari yang ultimacy, bukan juga kontemplasi, bukan refleksi, bahkan bukan komunikasi yang mengarah pada konsesus (dogma, doktrin yang tertutup pada perubahan dan kemungkinan baru). Kunci dalam berfilsafat adalah berusaha membentuk, menciptakan, memproduksi konsep. Beliau berkata, filsafat adalah “the art of forming, inventing and fabricating concepts.” Dengan kata lain, filsafat adalah soal “produksi” bukan refleksi. Itu sebabnya Deleuze menciptakan makna baru (neologis). Misalnya, ia mempekenalkan kepada dunia apa itu “rhizoma” (akar serabut), “nomadisme”, dan “plateau” (tataran).
Lebih jauh, Deleuze mengatakan bahwa sebetulnya filsafat adalah “the art of setting up new possible event in accordance with new experience and understanding”, seni menciptakan kemungkinan peristiwa baru yang sesuai dengan pengalaman dan pengertian baru. Sebab, pemikiran atau gagasan itu selalu nomadik (lompat dari konsep yang satu ke konsep yang lain) dalam rangka memahami life as a flow.
Jadi, menurut Deleuze, kunci berfilsafat adalah bukan mencari “kebenaran” (bukan seperti filsafat klasik yang memburu kebenaran) melainkan menciptakan “efek” melalui gagasan-gagasan yang brilian. Dan, efek gagasan-gagasan tersebut diharapkan menerobos batas Negara (deteritorialisasi), bifurkasi, dan beranak pinang seperti amuba (poliferasi).
Richard Rorty memberi syarat dan kunci berfilsafat. Menurutnya, filsafat masih berguna jika ia berfungsi sebagai rasionalitas yang terus-menerus mengkritik dirinya sendiri atas nama kompleksitas dinamika dan ambiguitas pengalaman. Filsafat mesti menjadi kata kerja. Dengan demikian, filsafat adalah upaya terus-menerus untuk mengeksplisitkan dimensi-dimensi yang sering tersembunyi dan terabaikan dalam lebenswelt manusia.
Para pembaca budiman, uraian saya di atas, mengandung banyak kunci-kunci dalam berfilsafat. Selamat membaca! Selamat berfilsafat! Tapi ingat kita hanyalah sahabat dan bukan kebijaksanaan itu sendiri. Kita hanya philos dari sophos.
* Postinus Gulö adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung
Referensi:
1. Kuliah-kuliah dari Prof. Dr. Ignatius Bambang Sugiharto di Fakultas Filsafat Unpar, Bandung, 2007
2. Tom Morris, Sang CEO Bernama Aristoteles: Sukses Berbisnis dengan Kearifan Filosofis, Bandung: Mizan, 2003
3. A. Harrisusanto dalam Ensiklopedi Nasinal Indonesia, Jilid 5, Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1989
4. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2000
5. Karl Raimund Popper, The Open Society and Its Enemies, New Jersey: Princeton University Press, 1966
SABTU, 17 NOVEMBER 2007
Fiksi, Ide, Dan Ideologi
Tulisan ini saya awali dengan pertanyaan: apa arti sebuah ide, seperti ide tentang Allah, ide tentang keadilan, dan ide tentang kebahagiaan? William James, filsuf pramatis Amerika pernah berkata, “ideas are not solely determined by the social conditions of their time, but also by earlier ideas, or by ideas transferred from different ideological field and different social-economic contexts”, ‘ide-ide itu tidak hanya ditentukan oleh kondisi-kondisi zamannya, tetapi oleh ide-ide sebelumnya atau ide yang berbeda dalam sosial-ekonomi dalam konteks yang berbeda-beda’.
Saya yakin bahwa ide-ide itu ditentukan oleh status atau kedudukan dan golongan sosial (terpelajar atau tidak) dari orang yang mencetuskan dan memperjuangkannya. Misalnya, ide orang kaya dengan ide orang miskin sangat berbeda. Orang kaya cenderung anti Pedagang Kaki Lima (PKL). Dengan alasan: mengakibatkan jalan macet dan bahkan mengganggu pejalan kaki. Lain halnya orang miskin. Mereka malah pro PKL. Dengan alasan, barang-barang ada di sekitar mereka, bisa dijangkau, bisa tawar-menawar. Jadi, seni berbicara dengan sendirinya terpraktekkan.
Harus diakui bahwa di balik ide ada bisnis, ada proyek politis yang cenderung mencari keuntungan. Misalnya, ide melakukan cacah jiwa semasa Kaisar Agustus di seluruh Imperium Roma. Ide itu sarat kepentingan. Kepentingan untuk menentukan jumlah populasi sehingga dengan demikian bisa ditentukan berapa upeti dan pajak yang harus dibayar ke ibu Kota Roma. Demikian juga di Indonesia. Jika orang Indonesia ke luar negeri diharuskan mengurus surat fiskal, SKKB, surat dokter. Tujuan utama bukan untuk mengamankan tetapi mencari untung.
William James mempunyai konsepsi yang luas dan fleksibel tentang ide. Menurutnya, deretan terminologi : ide, ideologi, teori, proposisi, kurang lebih sama artinya atau yang sering disebut juga family resemblance. Namun, di sini saya hanya memfokuskan pada dua kata saja: ide dan ideologi. Perbedaan antara ide dan ideologi (yang disebut juga sistem) bagi James adalah perbedaan dalam tingkat (in degree) bukan perbedaan dalam jenis (in kind). “Tingkat” yang berbeda yaitu perbedaan dalam “sistematis”. Artinya berbeda dalam tingkat keluasan komprehensif dan koherensi. “An idea is an implicit system; and a system is an explicit idea”: sebuah ide adalah sebuah sistem yang masih terselubung, implisit, sedangkan suatu sistem adalah sebuah ide yang sudah eksplisit (terurai), kata James. Dengan kata lain, ide adalah gagasan yang masih kabur dan fragmentaris. Sedangkan ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18. Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu (baca: weltanschauung), sebagai akal sehat dan beberapa kecenderungan "Filsafat" atau sebagai serangkaian ide yang dikemukakan oleh kelas masyarakat yang dominan kepada seluruh anggota masyarakat (definisi ideologi Marxisme).
Ada dua syarat gagasan dapat disebut ideologi. Pertama, gagasan tersebut dapat dipakai sebagai sarana penyelesaian masalah hidup. Jadi, ideologi harus unik karena harus bisa memecahkan problematika kehidupan. Kedua, suatu gagasan layak disebut ideologi jika ia meliputi metode penerapan, penjagaan, dan penyebarluasan ideologi. Jadi, ideologi harus khas karena harus disebarluaskan ke luar wilayah lahirnya ideologi itu. Dengan kata lain, suatu ideologi bukan semata-mata berupa pemikiran teoretis seperti filsafat, melainkan dapat dijelmakan secara operasional dalam kehidupan sehari-hari. Dari uraian ini, ideologi adalah gagasan yang terurai secara teratur, “system is well order whole”.
William James membedakan ide dan fiksi. Bagi dia, keduanya merupakan buah pikiran manusia. Masalahnya, apa perbedaan keduanya dan di mana letak perbedaannya ? Menurut James, perbedaan antara ide dan fiksi terletak pada degree of conviction (perbedaan dari tingkat kepercayaan) kita tentang ide dan fiksi itu sendiri. Ide disebut believable; sedangkan fiksi disebut unbelievable. Sesuatu itu hanya sebuah ilusi jika kita menganggap sesuatu itu tidak bisa dipercayai. Jadi, ide itu believable for me or for people. Antara believable dan unbelievable berbeda dalam hal tindakan. Suatu ide disebut believable jika kita menjadikannya sebagai dasar bagi tindakan kita. Dan disebut fiksi jika kita tidak berani menjadikannya sebagai dasar dari suatu tindakan. Maka banyak ide yang dianggap kelompok tertentu sebagai believable tetapi bagi yang lain tidak (unbelievable).
Yang dipersoalkan oleh James adalah “what is the meaning of an idea?”. Misalnya, apa arti kebahagiaan. Bagi James, ide adalah plan of action (rencana tindakan) yang akan kita lakukan guna meraih atau menghindari sesuatu. Maka arti dari ide itu berbeda-beda. Ide kebahagiaan bagi hedonis berbeda bagi kaum religius. Bagi hedonis bisa saja mereka artikan bahwa kebahagiaan adalah rencana untuk memuaskan keinginan sendiri. Sedangkan bagi kaum religius, kebahagiaan adalah rencana untuk menyenangkan dan melakukan kehendak Allah. Ide tentang surga, misalnya, baik Kristen, Islam, Budha maupun Hindu berbeda dalam memaknainya. Bagi Kristen surga itu diibaratkan sebagai tempat di mana orang tidak kawin dan tidak dikawinkan. Pemahaman Islam, tentang surga adalah 1001 malam. Sedangkan Budha, memahami surga sebagai situasi pudarnya segala nafsu, dan bagi Hindu, surga adalah sunyata, nothing, lain dari apa yang kita alami.
Menurut kaum Skolastik (Tomistik), makna dari suatu ide identik dengan defenisinya. Karena itu setiap kata, ide, konsep dirumuskan dengan jelas, agar tertangkap maknanya. Contoh, apa makna dari konsep Allah ? Aristoteles dan Thomas mengatakan Allah itu actus purus (aktivitas murni). Kata actus harus dimengerti sebagai aktualisasi diri dan dikontraskan dengan potensi, kemungkinan. Actus purus artinya segala kemungkinan sudah terwujud dan tidak ada potensi yang belum terwujud padaNya, semuanya sudah terealisasi di dalam Allah. Pada Allah tidak ada kemungkinan, maka Ia adalah realitas sempurna. Semuanya sudah terungkap padanyaNya (jadi Allah perfek).
Spinoza mengatakan Deus est causa sui et causa omnium (Allah menciptakan dirinya sendiri dan semua yang lain). Jadi, “makna” identik dengan defenisi, pengertian dari kata ide, konsep. Defenisi sering disebut denotasi yang dibedakan dengan konotasi. Denotasi adalah defenisi. Dengan kata lain defenisi dan denotasi adalah arti utama dan pertama (primer) dari suatu ide. Sedangkan konotasi itu adalah arti sekunder dan tambahan dari suatu ide. ***
* Tulisan ini disederhanakan dari bahan kuliah bersama Pst. Agus Rachmat W., OSC., L.Ph
Saya yakin bahwa ide-ide itu ditentukan oleh status atau kedudukan dan golongan sosial (terpelajar atau tidak) dari orang yang mencetuskan dan memperjuangkannya. Misalnya, ide orang kaya dengan ide orang miskin sangat berbeda. Orang kaya cenderung anti Pedagang Kaki Lima (PKL). Dengan alasan: mengakibatkan jalan macet dan bahkan mengganggu pejalan kaki. Lain halnya orang miskin. Mereka malah pro PKL. Dengan alasan, barang-barang ada di sekitar mereka, bisa dijangkau, bisa tawar-menawar. Jadi, seni berbicara dengan sendirinya terpraktekkan.
Harus diakui bahwa di balik ide ada bisnis, ada proyek politis yang cenderung mencari keuntungan. Misalnya, ide melakukan cacah jiwa semasa Kaisar Agustus di seluruh Imperium Roma. Ide itu sarat kepentingan. Kepentingan untuk menentukan jumlah populasi sehingga dengan demikian bisa ditentukan berapa upeti dan pajak yang harus dibayar ke ibu Kota Roma. Demikian juga di Indonesia. Jika orang Indonesia ke luar negeri diharuskan mengurus surat fiskal, SKKB, surat dokter. Tujuan utama bukan untuk mengamankan tetapi mencari untung.
William James mempunyai konsepsi yang luas dan fleksibel tentang ide. Menurutnya, deretan terminologi : ide, ideologi, teori, proposisi, kurang lebih sama artinya atau yang sering disebut juga family resemblance. Namun, di sini saya hanya memfokuskan pada dua kata saja: ide dan ideologi. Perbedaan antara ide dan ideologi (yang disebut juga sistem) bagi James adalah perbedaan dalam tingkat (in degree) bukan perbedaan dalam jenis (in kind). “Tingkat” yang berbeda yaitu perbedaan dalam “sistematis”. Artinya berbeda dalam tingkat keluasan komprehensif dan koherensi. “An idea is an implicit system; and a system is an explicit idea”: sebuah ide adalah sebuah sistem yang masih terselubung, implisit, sedangkan suatu sistem adalah sebuah ide yang sudah eksplisit (terurai), kata James. Dengan kata lain, ide adalah gagasan yang masih kabur dan fragmentaris. Sedangkan ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18. Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu (baca: weltanschauung), sebagai akal sehat dan beberapa kecenderungan "Filsafat" atau sebagai serangkaian ide yang dikemukakan oleh kelas masyarakat yang dominan kepada seluruh anggota masyarakat (definisi ideologi Marxisme).
Ada dua syarat gagasan dapat disebut ideologi. Pertama, gagasan tersebut dapat dipakai sebagai sarana penyelesaian masalah hidup. Jadi, ideologi harus unik karena harus bisa memecahkan problematika kehidupan. Kedua, suatu gagasan layak disebut ideologi jika ia meliputi metode penerapan, penjagaan, dan penyebarluasan ideologi. Jadi, ideologi harus khas karena harus disebarluaskan ke luar wilayah lahirnya ideologi itu. Dengan kata lain, suatu ideologi bukan semata-mata berupa pemikiran teoretis seperti filsafat, melainkan dapat dijelmakan secara operasional dalam kehidupan sehari-hari. Dari uraian ini, ideologi adalah gagasan yang terurai secara teratur, “system is well order whole”.
William James membedakan ide dan fiksi. Bagi dia, keduanya merupakan buah pikiran manusia. Masalahnya, apa perbedaan keduanya dan di mana letak perbedaannya ? Menurut James, perbedaan antara ide dan fiksi terletak pada degree of conviction (perbedaan dari tingkat kepercayaan) kita tentang ide dan fiksi itu sendiri. Ide disebut believable; sedangkan fiksi disebut unbelievable. Sesuatu itu hanya sebuah ilusi jika kita menganggap sesuatu itu tidak bisa dipercayai. Jadi, ide itu believable for me or for people. Antara believable dan unbelievable berbeda dalam hal tindakan. Suatu ide disebut believable jika kita menjadikannya sebagai dasar bagi tindakan kita. Dan disebut fiksi jika kita tidak berani menjadikannya sebagai dasar dari suatu tindakan. Maka banyak ide yang dianggap kelompok tertentu sebagai believable tetapi bagi yang lain tidak (unbelievable).
Yang dipersoalkan oleh James adalah “what is the meaning of an idea?”. Misalnya, apa arti kebahagiaan. Bagi James, ide adalah plan of action (rencana tindakan) yang akan kita lakukan guna meraih atau menghindari sesuatu. Maka arti dari ide itu berbeda-beda. Ide kebahagiaan bagi hedonis berbeda bagi kaum religius. Bagi hedonis bisa saja mereka artikan bahwa kebahagiaan adalah rencana untuk memuaskan keinginan sendiri. Sedangkan bagi kaum religius, kebahagiaan adalah rencana untuk menyenangkan dan melakukan kehendak Allah. Ide tentang surga, misalnya, baik Kristen, Islam, Budha maupun Hindu berbeda dalam memaknainya. Bagi Kristen surga itu diibaratkan sebagai tempat di mana orang tidak kawin dan tidak dikawinkan. Pemahaman Islam, tentang surga adalah 1001 malam. Sedangkan Budha, memahami surga sebagai situasi pudarnya segala nafsu, dan bagi Hindu, surga adalah sunyata, nothing, lain dari apa yang kita alami.
Menurut kaum Skolastik (Tomistik), makna dari suatu ide identik dengan defenisinya. Karena itu setiap kata, ide, konsep dirumuskan dengan jelas, agar tertangkap maknanya. Contoh, apa makna dari konsep Allah ? Aristoteles dan Thomas mengatakan Allah itu actus purus (aktivitas murni). Kata actus harus dimengerti sebagai aktualisasi diri dan dikontraskan dengan potensi, kemungkinan. Actus purus artinya segala kemungkinan sudah terwujud dan tidak ada potensi yang belum terwujud padaNya, semuanya sudah terealisasi di dalam Allah. Pada Allah tidak ada kemungkinan, maka Ia adalah realitas sempurna. Semuanya sudah terungkap padanyaNya (jadi Allah perfek).
Spinoza mengatakan Deus est causa sui et causa omnium (Allah menciptakan dirinya sendiri dan semua yang lain). Jadi, “makna” identik dengan defenisi, pengertian dari kata ide, konsep. Defenisi sering disebut denotasi yang dibedakan dengan konotasi. Denotasi adalah defenisi. Dengan kata lain defenisi dan denotasi adalah arti utama dan pertama (primer) dari suatu ide. Sedangkan konotasi itu adalah arti sekunder dan tambahan dari suatu ide. ***
* Tulisan ini disederhanakan dari bahan kuliah bersama Pst. Agus Rachmat W., OSC., L.Ph
PENGETAHUAN
Menurut Plato, ada beberapa syarat pengetahuan. Pertama, dapat dipercaya atau mengandung nilai-nilai yang meyakinkan. Kedua, mengandung kebenaran. Ketiga, dapat dijustifikasi. Keempat, no contrary evidences reason (tidak ada alasan yang kontra padanya).
Berkaitan dengan syarat pengetahuan a la Plato, marilah kita melihat gagasan filsuf pragmatisme Amerika, J. Dewey. Beliau mengatakan bahwa pengetahuan (knowledge) harus dibedakan dengan “spekulasi”. Karena menurutnya, “knowledge is a warranted assertation” dalam artian kebenaran suatu statement bisa dibela, dijamin, dan dipertanggungjawabkan. Assertation sama dengan proposisi dan sama dengan statement. Dengan demikian, kita mampu memberikan justifikasi melalui tiga hal: Pertama,good Reason: argumen verbal untuk menjelaskan dan membela pengetahuan dengan alasan-alasan yang baik (yang logis dan dapat dipercaya). Kedua, evidence: menghidangkan bukti material; menyodorkan sesuatu yang bisa diamati. Dengan kata lain, mempertanggungjawabkan suatu kebenaran dengan cara menunjukkan bukti yang bisa ditangkap indera. Ketiga, prosedur: menunjukkan tata-cara, guna menciptakan pengetahuan tersebut. Misalnya, obat ini ampuh, cara menjustifikasikannya adalah a) Menjelaskan proses pembuatannya (prosedur untuk menciptakannya). b) Memberikan statistik penggunaannya, berapa banyak orang yang tertolong karena menggunakan obat tersebut. Ternyata, obat ini termasuk mujarab karena menurut statistik, yang meminum obat ini banyak yang tertolong. Dengan kata lain, cara membuktikan kebenaran dengan prosedur adalah cara pembuktian kebenaran secara repetisi, bisa diulang oleh orang lain yang meragukannya.
A. Ayer, seorang positivisisme logis (logical Positivisme) dari Inggris, berpendapat bahwa orang yang merasa tahu tentang sesuatu - misalnya seseorang yang menyakini tentang B - harus mampu menunjukkan “the right to be sure”, tentang B itu dengan cara menjustifikasi B tersebut. Jika suatu gagasan terbukti bahwa secara per se tidak mengandung alasan kontra (no contrary evidences reasons), berarti tidak ada yang mampu melumpuhkan keyakinan saya tentang B. Dengan kata lain, knowledge(pengetahuan) harus bisa dibela dan layak untuk dipercaya (the right to be sure). Contoh, ada orang bertanya kepada Andi: jam berapa sekarang? Jawabnya: sekarang pukul 10. 00 Wib. Apakah Andi dan si penanya itu bisa mempercayai pernyataan pukul 10.00 Wib sebagai benar atau salah ? Bukti itu harus diinvestigasi melalui beberapa langkah:
Pertama, Kredibilitas: (apakah statement itu layak dipercaya atau tidak). Kredibilitas itu diperiksa dengan menyelidiki bukti atau argumen kontra yang bisa merontokkan krediblitas itu. Apakah benar atau tidak bahwa jam saya telah menunjukkan pukul 10. 00 Wib. Jangan-jangan jam saya ini batu baterainya sudah mau habis, sehingga cenderung lamban. Bahkan kita bisa teringat, jam ini buatan (rakitan) siapa, dari negara mana. Apakah sebelumnya pernah membuat saya terkecoh. Bagaimana informasi itu jika dibadingkan dengan jam orang lain, jika berbeda, apakah jam orang lain itu lebih kredibel dibandingkan dengan jam saya atau tidak.
Demikian juga dengan saksi yang diperiksa di pengadilan (contoh lain). Harus dipertanyakan apakah saksi itu kredibel atau tidak? Apakah pada umumnya saksi itu jujur atau sering berbohong, apa dan bagaimana biodata, apa rekam jejak dari kepribadiannya. Apakah waras atau sinting, tulus atau pamrih, mencari interest (keuntungan pribadi). Apakah pendapatnya itu pendapat pribadi atau umum, netral atau berpihak. Apa dan bagaimana koneksi orang itu dengan orang yang disaksikannya itu. Bagaimana pendapat saksi itu dibandingkan dengan pendapat saksi lain. Apakah ada argumen yang bisa meruntuhkan kesaksiannya.
Kedua, otoritas (pihak yang berkuasa dan berwenang) yakni pihak yang biasa disebut dengan “the formal channel of information” atau saluran sarana resmi untuk mendapatkan informasi yang jelas bagi penguasa atau pengusaha. Misalnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki staf khusus: juru bicara kepresidenan, juru bicara dibidang informasi, dsb. Tetapi demi kebenaran harus diperiksa juga apakah ada pro atau kontra, karena “the formal channel” biasanya mengandung interest (kepentingan) yang berguna untuk mengokohkan status quo, demi melestarikan kekuasaanya sendiri.
Ketiga, expert (ahli): para ahli selalu juga bisa dikontraskan dengan saksi ahli tandingan (contra expert). Biasanya di pengadilan, si jaksa memangil seorang psikolog atau dokter, dan si Advokat (pembela). Dengan kata lain, jaksa memanggil ahli yang berbeda. Para ahli selalu dihadirkan untuk membuktikan kekeliruan dan bahkan untuk membela tersangka.
Kesimpulan dari bagian ini adalah kita mempunyai “the right to be sure”(Ayer) ketika keyakinan kita tentang B menunjukkan “beyond reaosonable doubt” - mengatasi keraguan rasional (istilah yang diambil dari konteks pengadilan). Sebab dalam konteks pengadilan itu, pengetahuan selalu ada argumen pro dan kontra. Sehingga kita jarang sekali memiliki pengetahuan absolut tentang benar-salahnya terdakwa. Walaupun demikian, hakim misalnya, tetap (harus) menjatuhkan vonis, apakah terdakwa bersalah (guilthy) atau tak bersalah (not guilty). Untuk menjatuhkan vonis (amar), si hakim harus yakin “beyond reaosonable doubt” tentang salah - benarnya tuduhan terhadap tersangka itu. Jadi, hakim bisa memvonis dan diyakini, jika mampu mengatasi segala keraguan rasional atau segala argumen kontra yang melawan keyakinan kita atau keyakinan hakim itu . Dan “beyond reasonable doubt” berarti mampu menjawab argumen kontra itu dengan evidensi yang lebih meyakinkan. Maka selalu ada pro dan konta yang berakhir pada satu keputusan. Jika pro yang lebih kuat maka terdakwa itu bersalah; jika kontra yang lebih kuat yang terjadi adalah terdakwa itu tidak bersalah. Bahkan yang biasa terjadi adalah kedua-duanya. ***
*Tulisan ini sebagian besar dirangkum dari bahan kuliah bersama Pst. Agus Rachmat OSC., L.Ph.
إرسال تعليق